TEMBOK YA'JUJ MA'JUJ | DAJJAL | YA’JUJ DAN MA’JUJ | al jassasah | wasiat ali bin abi thalib kepada hasan | hilal awal bulan romadhon | bid'ah maulid | bid'ah tahlilan

Minggu, 27 Maret 2016

Sang ayah

SANG AYAH DALAM KENANGAN (Oleh Habib Novel Alaydrus) : https://youtu.be/a7JrA3XUpaY

Menjalin Hubungan Dengan Mereka Yang Telah Meninggal Dunia

Menjalin Hubungan Dengan Mereka Yang Telah Meninggal Dunia

Oleh: Habîb 'Alî Bin Abû Bakar As-Sakrân
Dikutip dari: Ma’ârijul Hidâyah, Habîb ‘Alî bin Abû Bakar As-Sakrân, Al-Mathba’ah Al-Mishriyyah bil Azhar, t.c., t.t., hal.59.

BARANG SIAPA memiliki hubungan dengan orang-orang yang telah meninggal dunia dengan terbiasa menghadiahkan pahala membaca Al-Qurân, dzikir, doa, sedekah dan ibadah lainnya, maka kelak di kubur dia tidak akan merasa kesepian.  Bahkan, setelah meninggal dunia dia akan merasa senang.  Dia seperti orang yang berkunjung ke rumah teman yang pandai menghibur dan selalu memuliakannya.

Jika engkau sering mengirim surat dan hadiah kepada orang yang tinggal di negara lain serta menjamunya saat dia datang mengunjungimu, maka bagaimana kiranya ketika engkau mengunjunginya di negaranya?  Tentu dia akan berbuat baik kepadamu, menghiburmu dan memuliakanmu.  Engkau tidak akan merasa kesepian.

Catatan:
Habîb 'Alî Bin Abû Bakar  bin ‘Abdurrahmân Assaqqâf lahir pada tahun 818 H dan wafat pada hari Minggu 12 Muharram 895 H dalam usia 77 tahun.  Anak beliau 12, 7 lelaki dan 5 perempuan.
 

📣 Telegram Channel :
http://bit.ly/majelisarraudhah

Untuk Bertanya dan Berkomentar silahkan PM atau Japri ke @habibnoval

Jangan lupa share artikel di atas kepada semua umat Islam di manapun mereka berada….. 😊😊😊

Haidh Membaca Yâsîn Saat Tahlilan

Haidh Membaca Yâsîn Saat Tahlilan

Oleh Ustadz Novel Bin Muhammad Alaydrus
Pengasuh Majelis Ilmu Dan Dzikir AR-RAUDHAH, SOLO

Tanya :

Bolehkah seseorang yang sedang haidh membaca surat Yâsîn saat melayat atau menghadiri acara tahlilan ?

Jawab :

  Dalam sebuah hadits, Rasûlullâh shallallâhu 'alahi wa sallam bersabda :

لاَ تَقْرَإِ الْحَائِضُ، وَلاَ الْجُنُبُ شَيْئاً مِنَ القُرْآنِ
Seseorang yang sedang haidh (menstruasi) dan juga sedang junub tidak boleh membaca sesuatu dari Al-Qur’an.            (HR Tirmidzî dan Baihaqî)

  Oleh karena itu, menurut pendapat Imam Syâfi'î, seseorang yang tengah mengalami haidh haram membaca Al-Qur’an, termasuk diantaranya adalah membaca surat Yâsîn, Al-Fâtihah, Al-Ikhlâs, Al-Falaq, An-Nâs dan sebagainya ketika mengikuti acara tahlilan maupun saat melayat jenazah, sebab semua bacaan tersebut diniatkan untuk membaca Al-Qur’an.  Lain halnya jika seseorang yang sedang haidh ingin membaca berbagai doa dan dzikir yang terdapat di dalam Al-Qur’an, maka hal tersebut diizinkan.  Sebagai contoh, membaca doa safar, membaca basmalah ketika akan makan dan lain sebagainya.

📣 Telegram Channel :
http://bit.ly/majelisarraudhah

Untuk Bertanya dan Berkomentar silahkan PM atau Japri ke @habibnoval

Jangan lupa share artikel di atas kepada semua umat Islam di manapun mereka berada….. 😊😊😊

Majelis Rasûlullâh Oleh Ustadz Novel Bin Muhammad Alaydrus

Majelis Rasûlullâh

Oleh Ustadz Novel Bin Muhammad Alaydrus
Pengasuh Majelis Ilmu Dan Dzikir AR-RAUDHAH, SOLO

Di dalam Masjid tampak orang-orang duduk melingkar dengan tenang dan rapi.  Tiada sepatah kata ataupun gerakan yang mengusik keheningan masjid.  Yang terdengar hanyalah suara merdu, lembut dan penuh cinta yang menuturkan untaian mutiara tiada tara.  Suara yang dirindukan oleh setiap pecinta, suara kekasih Allâh Al-Musthafâ shallallâhu 'alaihi wa sallam menyampaikan sabda-sabdanya.  Mereka semua tenggelam dalam keheningan menyaksikan keindahan baginda Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam.  Setiap orang ingin duduk di dekat beliau, menatap wajah beliau yang mulia. Kendati demikian, mereka tidak berdesak-desakan.  Suatu hari, barisan depan majelis Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam telah dipenuhi oleh para sahabat.  Beberapa sahabat yang pernah ikut perang Badar (ahli Badar) tidak mendapatkan tempat duduk.  Mereka lantas berdiri di hadapan Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam menanti agar diberi tempat oleh sahabat yang lain.  Akan tetapi, tidak ada seorangpun yang bergerak dari tempat duduknya.  Menyaksikan hal ini, Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam segera memerintahkan beberapa sahabat yang tidak ikut perang Badar — yang saat itu berada di dekat beliau — untuk berdiri dan memberikan tempatnya kepada para sahabat ahli Badar.   Kemudian turunlah wahyu Allâh yang berbunyi:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِمِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allâh akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allâh akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allâh Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
                                            (QS. Al-Mujâdilah, 58:11)

Demikianlah keadaan majelis Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam.  Beliau menempatkan setiap orang sesuai dengan kedudukannya.  Orang-orang yang memiliki kedudukan di sisi Allâh, berjasa bagi Islam dan muslimin, beliau tempatkan di depan.  Begitu pula dengan orang-orang yang berilmu dan lebih tua.  Setelah ayat di atas turun, maka para sahabat pun suka memberi tempat kepada sahabat yang lain, meneladani AlQur’an dan Sunah Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam.

Dalam kesempatan lain, ketika Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam sedang duduk bersama para sahabatnya di sebuah rumah, tiba-tiba seorang sahabat bernama Jarîr bin 'Abdullâh datang dan berdiri di pintu karena ruangan telah dipenuhi oleh para sahabat yang hadir lebih awal.  Ketika melihat kedatangan Jarîr, Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam segera menengok ke kanan dan ke kiri, mencari tempat yang masih luang untuknya.  Ternyata semua tempat telah dipadati oleh para sahabat.  Melihat hal ini, Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam segera melipat selendang beliau, menyerahkannya (melemparkannya) kepada Jarîr dan berkata, "Duduklah di atas selendang itu, wahai Jarîr."  Jarîr pun menerima selendang itu, memeluknya dengan penuh cinta dan menciumnya dengan hangat.  Ia tidak kuasa untuk duduk di atas selendang Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam.  Jarîr lalu mengembalikan selendang itu kepada Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam dan berkata, "Semoga Allâh memuliakanmu wahai Rasul, sebagaimana engkau memuliakanku."

Melihat perlakuan Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam kepada Jarîr tersebut para sahabat tercengang dan berkata :

"Duhai Rasûlullâh, hari ini kami melihat engkau memperlakukan Jarîr dengan suatu perlakuan yang sebelumnya tidak pernah engkau lakukan kepada seorangpun."

"Benar, Jarîr ini adalah tokoh masyarakat," jawab Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam.

Setelah itu beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا أَتَاكُمْ كَرِيْمُ قَوْمٍ اكْرِمُوْهُ
"Jika datang kepada kalian seorang yang mulia dari suatu kaum (pemuka masyarakat ), maka muliakanlah dia."

Duhai Rasul, betapa mulia akhlakmu, sungguh agung budi pekertimu.  Selendang yang mulia, yang senantiasa melekat di tubuhmu, yang engkau gunakan ketika shalat, dalam perjalanan bahkan menemanimu dalam jihad, engkau serahkan kepada Jarîr untuk didudukinya?

Sungguh, ini merupakan sebuah penghormatan besar yang dilakukan oleh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam dalam rangka memuliakan setiap orang yang mulia.  Rasulullah tidak kuasa membiarkannya duduk di belakang juga tanpa alas.  Ya Allâh, limpahkanlah shalawat dan salam tanpa henti kepada kekasih kami, RasulMu tercinta, Al-Musthafa shallallâhu 'alaihi wa sallam.

Betapa senang hati kita saat orang yang kita hormati, pemimpin yang kita junjung kemudian melayani kita, bahkan memberikan sorbannya sebagai alas duduk kita.  Begitulah akhlak Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam.  Sebagai pemimpin ia ingin menyenangkan dan melayani bawahannya.  Sudahkah kita meniru akhlak Rasul shallallâhu 'alaihi wa sallam yang mulia ini?

Dalam kisah di atas sangat banyak pelajaran yang dapat kita petik.  Saat ini keberkahan majelis ilmu seringkali sirna karena tidak mencontoh dan meneladani tata cara majelis ilmu Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam.  Agar majelis ilmu menjadi berkah dan  bermanfaat, setiap orang hendaknya menjaga adab.  Jika dia seorang yang berilmu, tokoh masyarakat, orang tua, maka hendaknya ia didudukkan di barisan depan.  Sedangkan anak-anak dan kaum remaja, hendaknya menempati posisi yang lebih di belakang.  Kemudian jika ada seseorang yang memiliki kedudukan, baik itu ulama ataupun yang lainnya, datang terlambat karena sebuah keperluan, bukan karena disengaja, maka hendaknya ia diberi tempat sesuai dengan kedudukannya.  Selain itu yang tidak kalah penting dan sangat berpengaruh terhadap keberkahan majelis adalah ketenangan di dalam majelis dan tidak berdesak-desakan.  Setiap orang hendaknya mencari posisi duduk yang nyaman, mengarahkan pandangan kepada pimpinan majelis, diam, tidak berbicara ataupun melakukan suatu kegiatan yang dapat menimbulkan suara yang dapat mengganggu ketenangan majelis.

📣 Telegram Channel :
http://bit.ly/majelisarraudhah

Untuk Bertanya dan Berkomentar silahkan PM atau Japri ke @habibnoval

Jangan lupa share artikel di atas kepada semua umat Islam di manapun mereka berada….. 😊😊😊

DOA ORANG TUA UNTUK ANAK Oleh Ustadz Novel Bin Muhammad Alaydrus

DOA ORANG TUA UNTUK ANAK

Oleh Ustadz Novel Bin Muhammad Alaydrus
Pengasuh Majelis Ilmu Dan Dzikir AR-RAUDHAH, SOLO

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، اَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ مِفْتَاحِ بَابِ رَحْمَةِ اللهِ،
عَدَدَ مَا فِيْ عِلْمِ اللهِ، صَلاَةً وَسَلاَمًا دَآئِمَيْنِ بِدَوَامِ مُلْكِ اللهِ، وَعَلَى آلِهلِهِ وَصَحْبِهِ

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ، وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ إِمَامًا

Duhai Tuhan kami, jadikanlah pasangan hidup dan keturunan kami sebagai penyejuk mata kami (sesuatu yang menggembirakan kami), dan jadikanlah kami sebagai pemimpin orang-orang yang bertakwa.

رَبِّ اجْعَلْنِيْ مُقِيْمَ الصَّلوةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِيْ، رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَآءِ

Duhai Tuhanku, Jadikanlah aku sebagai orang yang pandai mendirikan shalat, begitu pula dengan keturunanku.  Duhai Tuhan kami, terimalah doaku.

أَللّهُمَّ إِنِّيْ أُعِيْذُ أَوْلاَدِيْ بِكَلِمَاتِكَ التَّامَّاتِ، مِنْ شَرِّ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لاَمَّةٍ

Ya Allah, sesungguhnya aku jadikan kalimat-kalimat-Mu yang sempurna sebagai pelindung anak-anakku dari gangguan setan dan bentuk mara bahaya serta pandangan yang penuh kedengkian

أَللّهُمَّ بَارِكْ فِيْ أَوْلاَدِيْ وَلاَ تَضُرَّهُمْ، وَارْزُقْنِيْ بِرَّهُمْ،
وَاجْعَلْهُمْ قُرَّةَ عَيْنٍ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلِوَالِدَيْهِمْ

Ya Allah, berkatilah anak-anakku, jangan timpakan sesuatu yang membahayakan mereka.  Karuniailah aku bakti mereka, jadikanlah mereka sebagai penyejuk hati Nabi Muhammad saw dan kedua orang tua mereka.

أَللّهُمَّ نَوِّرْ قُلُوْبَهُمْ بِأَنْوَارِ مَعْرِفَتِكَ،
وَافْتَحْ لَهُمْ فُتُوْحَ الْعَارِفِيْنَ، وَ هَبْ لَهُمْ مَا وَهَبْتَهُ لِعِبَادِكَ الصَّالِحِيْنَ،
وَاسْتَعْمِلْهُمْ فِيْ طَاعَتِكَ، وَاجْعَلْ أَلْسِنَتَهُمْ رَطْبًا بِذِكْرِكَ

Ya Allah, terangkanlah hati mereka dengan cahaya makrifat kepada-Mu, singkapkanlah kepada mereka ilmu kaum arifin, berikanlah kepada mereka apa yang telah Engkau karuniakan kepada hamba-hamba-Mu yang saleh, jadikanlah mereka sebagai orang yang selalu taat kepada-Mu dan jadikanlah lisan mereka selalu basah berdzikir kepada-Mu.

وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ

📣 Telegram Channel :
http://bit.ly/majelisarraudhah

Untuk Bertanya dan Berkomentar silahkan PM atau Japri ke @habibnoval

Jangan lupa share artikel di atas kepada semua umat Islam di manapun mereka berada….. 😊😊😊

Kiat Hidup Bermasyarakat

Kiat Hidup Bermasyarakat

Oleh Ustadz Novel Bin Muhammad Alaydrus,
Pengasuh Majelis Ilmu Dan Dzikir AR-RAUDHAH, Solo

SUATU HARI, Ahmad bin Hambal radhiyallâhu ‘anhu bertanya kepada Hâtim Al-Asham cara selamat dari masyarakat.  Hatim pun berkata:

Pertama, dermakan hartamu kepada mereka dan jangan meminta mereka untuk memberikan hartanya kepadamu.

Kedua, penuhilah hak-hak mereka dan jangan menuntut mereka untuk memenuhi hak-hakmu.

Ketiga, bersabarlah menanggung gangguan mereka dan jangan mengganggu mereka.

Jika semua ini telah kau lakukan, kau belum tentu selamat dari mereka.  Semoga saja kau selamat.

Disadur dari: Adz-Dzahabî, Siar A'lâm Nubalâ, Dârul Fikr, Beirut-Libanon, juz.7, hal.486.

📣 Telegram Channel :
http://bit.ly/majelisarraudhah

Untuk Bertanya dan Berkomentar silahkan PM atau Japri ke @habibnoval

Jangan lupa share artikel di atas kepada semua umat Islam di manapun mereka berada….. 😊😊😊

ISTIGHFAR Oleh Ustadz Novel Bin Muhammad Alaydrus

ISTIGHFAR

Oleh Ustadz Novel Bin Muhammad Alaydrus,
Pengasuh Majelis Ilmu Dan Dzikir AR-RAUDHAH, Solo

Saudaraku, entah kebodohan apa yang menyelimuti diri kita ini.  Setiap saat kita berbuat dosa, durhaka kepada Allah tanpa henti, melanggar berbagai aturan dan norma hukum yang ditetapkan-Nya, tetapi kata-kata maaf walau sekedar di lisan pun jarang atau tidak pernah kita ucapkan.  Seakan surga ini milik kita dan kita dapat memasukinya kapan pun kita mau.

Coba kita ingat bagaimana sikap Nabi Muhammad saw.  Beliau tidak pernah dan tidak akan berbuat dosa atau kesalahan.  Allah telah mengangkat dan memilih beliau sebagai orang yang paling mulia dan paling Ia cintai dari semua makhluk-Nya.  Kendati demikian Rasulullah saw bersabda:

“Demi Allah, setiap hari aku beristighfar dan bertobat kepada Allah lebih dari 70 kali.”

Istighfar memiliki banyak keutamaan, di antaranya adalah: mencegah turunnya bencana dan siksa, menghapuskan dosa, memudahkan rezeki dan keturunan, melancarkan usaha, menghapuskan duka dan kesedihan dan melenyapkan kesempitan hidup.  Coba simak ayat berikut:

“Dan Allah sekali-kali tidak akan mengzdzab mereka sedangkan kamu berada di antara mereka.  Dan tidak pula Allah akan mengadzab mereka, sedangkan mereka meminta ampun.”  (Al-Anfal, 8:33)

“Maka aku (Nuh) katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Tuhan kalian, sesungguhnya Dia Maha Pengampun.  Niscaya Dia akan mengirimkan hujan yang lebat kepada kalian, dan memberi kalian harta dan anak-anak yang banyak, dan mengadakan untuk kalian kebun-kebun dan mengadakan pula (di dalamnya) untuk kalian sungai-sungai.”  (Nuh, 71:10-12)

Tentunya berbagai keutamaan ini akan kita peroleh jika kita beristighfar dengan sesungguhnya, yakni dengan benar-benar meminta ampun kepada Allah.  Kendati demikian, sekedar istighfar di lisan sudah mendatangkan pahala yang sangat besar, di antaranya pahala dzikir lisan, selamatnya kita dari dosa ghibah (menggunjing), dusta, mengadu domba dan lain sebagainya.

📣 Telegram Channel :
Telegram.me/majelisarraudhah

Untuk Bertanya dan Berkomentar silahkan PM atau Japri ke @habibnoval
Jangan lupa share artikel di atas kepada semua umat Islam di manapun mereka berada….. 😊😊😊

Kekuatan Semangat (Himmah)

Kekuatan Semangat (Himmah)

Habîb ‘Ahmad bin Hasan Al-Haddâd, Tatsbîtul Fuâd, juz.1. hal.214.
Diterjemahkan Oleh Ustadz Novel Bin Muhammad Alaydrus,
Pengasuh Majelis Ilmu Dan Dzikir AR-RAUDHAH, Solo

Seseorang yang semangatnya terikat dengan Allâh, maka sesungguhnya ia telah memasuki samudera yang tak bertepi.  Ia akan mendapatkan apa yang dicita-citakannya, meskipun cita-citanya teramat tinggi dan tubuhnya lemah.  Semangatnya tersebut akan mengantarkannya untuk memperoleh sesuatu yang tidak dapat digapai oleh tubuhnya yang lemah dan kekuatannya yang lemah.  Sebagaimana diceritakan, pernah seorang raja di tanah Arab mengutus seseorang untuk menemui seorang raja di Cina untuk menanyakan bagaimana ia dapat berusia panjang dan berkuasa demikian lama, sedangkan ia adalah seorang kafir.  Sedangkan kaum Muslimin tidak memperoleh yang ia peroleh.  Sang raja Cina itu kemudian membawa si utusan untuk melihat sebuah pohon yang sangat besar dan kuat sembari berkata, "Aku tidak akan menjawab pertanyaanmu, sebelum engkau mampu menumbangkan pohon ini."  Sang utusan merasa sulit mendapatkan jawaban dari sang raja, sedangkan ia ingin segera kembali ke negerinya.  Maka, seluruh semangatnya (pikiran dan perhatiannya) tertuju pada usaha untuk menumbangkan pohon tersebut.  Ia tahu, selama pohon itu belum tumbang, ia tidak akan memperoleh jawaban.  Selama beberapa hari ia mondar-mandir mendatangi pohon tersebut sembari mengharap agar pohon itu tumbang, hingga akhirnya pohon itu benar-benar tumbang.  Sang raja pun berkata kepadanya, "Inilah jawabannya."  Sang utusan pun kembali ke negaranya menjumpai raja yang mengutusnya dan ia ceritakan permasalahan pohon tersebut.  Mendengar ceritanya, sang raja merenung sembari menundukkan kepala.  Setelah itu ia berkata, "Semoga Allâh membinasakan raja (kafir) tersebut.  Ia sungguh cerdas."

"Apa arti semua ini?" tanya sang utusan.
"Artinya, ia berkata kepadamu bahwa kamu yang hanya seorang diri, ketika seluruh semangatmu tertuju kepada usaha agar pohon yang kuat itu tumbang, maka ia pun tumbang.  Sedangkan kalian, begitu banyak semangat orang-orang yang kalian dzalimi tertuju kepada kalian (agar kalian tumbang).  Lalu bagaimana mungkin kalian dapat berkuasa lama dan menikmati kekuasaan.  Ini adalah sesuatu yang mustahil," jawab sang raja.

📣 Telegram Channel :
Telegram.me/majelisarraudhah

Untuk Bertanya dan Berkomentar silahkan PM atau Japri ke @habibnoval

Kurma Untuk Sang Anak Oleh Ustadz Novel Bin Muhammad Alaydrus

Kurma Untuk Sang Anak
Oleh Ustadz Novel Bin Muhammad Alaydrus,
Pengasuh Majelis Ilmu Dan Dzikir AR-RAUDHAH, Solo

Dalam keadaan yang paling menderita sekalipun, seorang ibu akan senantiasa mengutamakan kebahagiaan anaknya di atas dirinya.  Memandang sang anak tersenyum manis, tertawa riang, merupakan kebahagiaan yang tiada tara bagi sang Ibu.

Suatu hari, seorang wanita miskin bersama kedua anak perempuannya yang masih kecil mendatangi Sayyidah 'Âisyah radhiyallâhu 'anhâ.  Beliau pun segera memberikan tiga butir kurma yang dimilikinya kepada wanita itu.  Ia kemudian memberikan kepada masing-masing anaknya sebutir kurma.  Ketika wanita itu hendak memakan sebutir kurma yang tersisa, kedua putrinya meminta kurma yang akan dimakannya.  Sang ibu yang penuh kasih pun segera membelah kurma itu menjadi dua bagian dan memberikan setiap bagian kepada kedua putrinya.   Pemandangan ini sangat menyentuh hati Sayyidah 'Âisyah radhiyallâhu 'anhâ, sehingga beliau pun menceritakannya kepada Rasûlullâh  saw.  Mendengar penuturan istrinya tercinta, Rasûlullâh  saw pun bersabda:

إِنَّ اللهَ قَدْ أَوْجَبَ لَهَا بِهَا الْجَنَّةَ أَوْ أَعْتَقَهَا بِهَا مِنَ النَّارِ
Sesungguhnya Allâh telah memastikan wanita itu untuk masuk Surga, atau menyelamatkannya dari siksa Neraka.”  (HR Muslim)

📣 Telegram Channel :
Telegram.me/majelisarraudhah

Untuk Bertanya dan Berkomentar silahkan PM atau Japri ke @habibnoval

MENGAPA HARUS BERMADZHAB

MENGAPA HARUS BERMADZHAB
Oleh Ustadz Novel Bin Muhammad Alaydrus,
Pengasuh Majelis Ilmu Dan Dzikir AR-RAUDHAH, Solo

Tanya :

Kenapa kebanyakan umat Islam dalam beribadah memakai madzhab Imam Syafi'i, Maliki, Hanafi atau Hambali, bukankah yang benar adalah yang mengikuti AlQur’an dan Sunnah (Hadits)?  Kenapa tidak kembali kepada AlQur’an dan Sunnah saja?

Jawab :

Sebuah pertanyaan yang menarik, mengapa kita harus bermadzhab?  Mengapa kita tidak kembali kepada AlQur’an dan Sunnah saja?

Kalimat "Mengapa kita tidak kembali kepada AlQur’an dan Sunnah saja?" seakan-akan menghakimi bahwa orang yang bermadzhab itu tidak kembali kepada AlQur’an dan Sunnah.  Penggunaan kalimat "Mengapa kita tidak kembali kepada AlQur’an dan Sunnah saja?" tersebut telah menyebabkan sebagian orang memandang remeh ijtihad dan keilmuan para ulama, terutama ulama terdahulu yang sangat dikenal kesalehan dan keluasan ilmunya.  Dengan menggunakan kalimat "Mengapa kita tidak kembali kepada AlQur’an dan Sunnah saja?" sekelompok orang sebenarnya sedang berusaha mengajak pendengar dan pembaca tulisannya untuk mengikuti cara berpikirnya, metodenya dalam memahami AlQur’an dan Sunnah, serta menganggap bahwa dirinyalah yang paling benar, karena ia telah berpegang kepada AlQur’an dan Sunnah, bukan fatwa atau pendapat para ulama.  Hal semacam ini tentunya sangat berbahaya.

Sebenarnya sungguh aneh jika seseorang menyatakan agar kita tidak bermadzhab dan seharusnya kembali kepada AlQur’an dan Sunnah.  Mengapa aneh, coba perhatikan, apakah dengan mengikuti suatu madzhab berarti tidak mengikuti AlQur’an dan Sunnah?  Madzhab mana yang tidak kembali kepada AlQur’an dan Sunnah?  Justru para pemuka madzhab tersebut adalah orang-orang yang sangat paham tentang AlQur’an dan Sunnah. Coba dicek, hasil ijtihad yang mana dalam suatu madzhab, yang tidak kembali kepada AlQur’an dan Al Hadits?

Ternyata semua hasil ijtihad keempat madzhab yang populer di dalam Islam semuanya bersumber kepada AlQur’an dan Hadits.  Artinya dengan bermadzhab kita justru sedang kembali kepada AlQur’an dan Hadits dengan cara yang benar, yaitu mengikuti ulama yang dikenal keluasan ilmu dan kesalehannya.

Akhir-akhir ini memang muncul sekelompok orang yang sangat fanatik dengan golongannya dan secara sistematis berupaya mengajak umat Islam meninggalkan madzhab.  Mereka seringkali berkata, "Kembalilah kepada Alquran dan Sunnah".  Ajakan ini sepintas tampak benar, akan tetapi sangat berbahaya, karena secara tidak langsung mereka menggunakan kalimat (propaganda) di atas untuk menjauhkan umat dari meyakini pendapat para ulama terdahulu yang telah mumpuni.  Mereka memaksakan agar kita semua hanya mengikuti pendapat gurunya.

Kemudian perhatikan lebih cermat lagi, apakah mereka yang menyatakan kembali kepada AlQur’an dan Sunnah benar-benar langsung kembali kepada AlQur’an dan Sunnah? Tidak bukan, mereka ternyata menyampaikan pendapat guru-gurunya.  Artinya, mereka sendiri sedang membuat madzhab baru sesuai pemikiran guru-gurunya.
 
Coba bayangkan, andai saja setiap orang kembali kepada AlQur’an dan Sunnah secara langsung, tanpa bertanya kepada pakarnya, apa yang akan terjadi?  Yang terjadi adalah setiap orang akan menafsirkan AlQur’an dan Sunnah menurut akalnya sendiri, jalan pikirnya sendiri, sehingga akan sangat berbahaya.
 
Oleh karena itu, kita harus bermadzhab, agar kita tidak salah memahami AlQur’an dan Sunnah.  Kita sadar, tingkat keilmuan para pakar yang ada di masa ini tidak dapat disamakan dengan para ulama terdahulu, begitu pula tingkat ibadah dan kesalehan mereka.

Telegram Channel :
Telegram.me/majelisarraudhah

Untuk Bertanya dan Berkomentar silahkan PM atau Japri ke @habibnoval

Keutamaan Menuntut Ilmu Diterjemahkan Oleh Ustadz Novel Bin Muhammad Alaydrus

Keutamaan Menuntut Ilmu
Diterjemahkan Oleh Ustadz Novel Bin Muhammad Alaydrus,
Pengasuh Majelis Ilmu Dan Dzikir AR-RAUDHAH, Solo

Di dalam sebuah hadis marfû’, Mu’âdz bin Jabal ra berkata :

Tuntutlah ilmu, sebab menuntut ilmu karena Allâh adalah kebaikan, usaha untuk mencari ilmu adalah ibadah, mempelajarinya adalah tasbîh, membahasnya adalah jihad, mengajarkannya adalah sedekah, menyampaikannya kepada ahlinya adalah pendekatan diri kepada Allâh.  Ilmu adalah teman yang menghibur saat kesepian, sahabat ketika sendirian, petunjuk saat senang maupun susah, wakil di hadapan teman-teman, pendamping ketika bersama para sahabat dan mercusuar yang menerangi jalan menuju surga. 

Dengan ilmu, Allâh memuliakan suatu kaum sehingga mereka menjadi suri tauladan kebajikan dan pemberi petunjuk yang diteladani.  Orang-orang yang berilmu menjadi pemberi petunjuk kebajikan.  Napak tilas mereka selalu dicari dan segala perbuatan mereka diikuti.  Para Malaikat pun ingin menghias mereka dan dengan sayapnya membelai mereka.  Segala sesuatu yang basah maupun kering ber-tasbîh untuk mereka, bahkan segala jenis ikan, hewan laut, hewan buas, ternak darat, langit dan bintang-bintang memintakan ampun bagi mereka.  Ilmu membuat hati yang buta menjadi hidup, menyinari mata saat berada dalam kegelapan, memperkuat tubuh ketika lemah dan menyampaikan seorang hamba kepada kedudukan para abrâr dan derajat yang tinggi.  Merenungkan ilmu dapat disamakan dengan berpuasa (Sunnah) dan mempelajarinya dapat disamakan dengan shalat (Sunnah).  Dengannya Allâh ditaati, disembah, diesakan dan ditakuti.  Dengan ilmu, hubungan silaturahim dapat bersambung.  Ilmu adalah pemimpin dan amal adalah pengikutnya.  Ilmu diberikan Allâh kepada orang-orang yang berbahagia (su’adâ`) dan tidak diberikan kepada orang-orang yang sengsara (asyqiyâ`).

📣 Telegram Channel :
Telegram.me/majelisarraudhah

Untuk Bertanya dan Berkomentar silahkan PM atau Japri ke @habibnoval

Mengemban tugas sebagai abdi

Sendiri...
tiada yang mengerti
apalagi menemani
Mengemban tugas sebagai abdi
Dihujat dicaci dimaki
Suara merdu yang terdengar di jalan ini
Hampir setiap hari

Sungguh...
Sedih hati ini...
Ketika tiada yang mengerti...
Sendiri...aku sendiri...
Tiada yang menemani...

Apa yang kau cari...
Coba tanyakan pada diri..
Sungguh mati itu pasti
Dan mendekat kian hari
Berjalan cepat tanpa henti
Menjemput paksa setiap abdi...
Surga atau neraka tempat kembali
Sebenarnya engkau telah  mengerti...
Walau keputusan di Tangan Ilahi

Apa yang kau cari
Kau dambakan dalam hidup ini
Benarkah ridha ilahi
Atau puja puji
Dan berbangga diri...

Dalam sendiri nan sunyi...
Terdengar suara nan menghampiri...
Kemari dan kemari...
AKU TUHANMU KAN MENEMANI....
Sungguh nikmat terasa di hati...
Saat tak menengok hidup ini...
Maka sungguh ALLAH selalu menemani....

Novel bin Muhammad Alaydrus
Solo, Senin, 14 Maret 2016

Sekilas Mengenal Menantu Nabi Khalifah ‘Alî bin Abî Thâlib

Sekilas Mengenal Menantu Nabi
Khalifah ‘Alî bin Abî Thâlib

Oleh Ustadz Novel bin Muhammad Alaydrus

  Abu Thurab, itulah julukan yang diberikan oleh Nabi saw kepada beliau.  Sayidina ‘Alî ra lahir di Mekah dan di dalam Kakbah 32 tahun setelah kelahiran Nabi saw.  Kemudian beliau tumbuh dewasa di rumah Rasulullah saw.  Kebejatan dan kehinaan Jahiliyah tidak sedikit pun mampu mempengaruhi beliau.  Selama hidupnya beliau tidak pernah menyembah berhala maupun sujud kepada sebuah patung.  Karena itulah beliau disebut dengan “Karromallôhu wajhah” (semoga Allah menyucikan wajahnya).
  Saat berusia 8 tahun, Sayidina ‘Alî ra memeluk Islam.  Beliau adalah orang pertama dari kalangan anak-anak yang memeluk Islam.  Kemudian pada tahun 2 H, saat mencapai usia 21 tahun, beliau menikah dengan Fathimah az-Zahra putri Nabi saw.  Sayyidah Fathimah saat itu berusia 15 tahun.
  Ketika mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar, Rasulullah saw berkata kepada Sayidina ‘Alî, “Engkau adalah saudaraku di dunia dan akhirat.”  Sabda beliau saw ini cukup menunjukkan kemuliaan Sayidina ‘Alî ra.  Salah satu bukti keberanian beliau adalah kerelaan beliau untuk berbaring di tempat tidur Nabi saw di malam Nabi Hijrah untuk memperdaya orang-orang kafir.
  Beliau wafat dalam usia 63 tahun dan menjabat sebagai khalifah selama 4 tahun 9 bulan.
  Keluasan ilmu, ketakwaan, keberanian dan sifat-sifat mulia Sayidina ‘Alî tak mungkin dapat dituliskan dalam berjilid-jilid buku, apalagi dalam satu halaman kecil ini.  Sebagai pemuas dahaga kita, berikut adalah beberapa mutiara hikmah dan nasihat beliau ra.
  “Sebaik-baik temanmu adalah ia yang membantumu.  Dan sebaik-baik teman yang membantumu adalah ia yang mencukupi kebutuhanmu.”
  “Pergaulan dengan orang-orang yang jahat akan menghasilkan prasangka buruk kepada orang-orang yang baik.”
  “Sebaik-baik teman adalah ia yang membimbingmu kepada kebenaran.”
   “Sebaik-baik ucapan adalah yang ringkas tetapi memberikan petunjuk.”
  “Tanda hati seseorang adalah perbuatannya.  Dan tanda ilmu seseorang adalah ucapannya.”
  “Bunuhlah keburukan yang terdapat di hati orang lain dengan mencabut keburukan itu dari hatimu.”
  “Pelajarilah ilmu, dengan ilmu itu kau akan dikenal.  Kemudian amalkanlah ilmu itu, kau akan menjadi ahlinya.”

Majelis Ar-Raudhah Pusat (Habib Novel bin Muhammad Alaydrus)
📣 Telegram Channel :
Telegram.me/majelisarraudhah

Untuk Bertanya dan Berkomentar silahkan PM atau Japri ke @habibnoval

Duhai Rasul Oleh Imam Al-Ghazali

Duhai Rasul
Oleh: Imam Al-Ghazali
Diterjemahkan Oleh Ustadz Novel Bin Muhammad Alaydrus, Solo

Ketika Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam meninggalkan dunia yang fana ini, alam pun bersedih.  Di tengah kesedihan mereka, sembari menangis, Sayyidinâ 'Umar berkata:

Demi ayah dan ibuku, duhai Rasul, dahulu engkau memiliki sebatang kurma sebagai tempat berpidatomu.  Ketika engkau dirikan sebuah mimbar baru untuk menyampaikan pesan-pesanmu kepada masyarakat yang jumlahnya semakin banyak, batang kurma itu pun merintih karena sedih berpisah denganmu.   Ia baru tenang dan berhenti merintih, setelah engkau letakkan tanganmu di atasnya.  Duhai Rasul, sesungguhnya umatmu lebih pantas untuk merintih rindu kepadamu, saat engkau meninggalkan mereka.

Demi ayah dan ibuku, duhai Rasul, sungguh tinggi kedudukanmu di sisi Allâh.  Ia jadikan ketaatan kepada-Mu sebagai ketaatan kepada-Nya.  Allâh 'Azza Wa Jalla mewahyukan:

مَنْ يُّطِعِ الرَّسُوْلَ فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ
Barang siapa yang mematuhi Rasul, sungguh ia telah mematuhi Allâh.  (An-Nisâ, 4:80)

Demi ayah dan ibuku, duhai Rasul, sungguh tinggi kedudukanmu di sisi Allâh.  Ia telah memaafkanmu, sebelum menyebutkan kesalahanmu, sebagaimana tersebut dalam wahyu-Nya:

عَفَا اللهُ عَنْكَ لِمَ أَذِنْتَ لَهُمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكَ الَّذِيْنَ صَدَقُوْا وَتَعْلَمَ الْكَاذِبِيْنَ

Semoga Allâh memaafkanmu.  Mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (dalam keudzurannya) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta? (At-Taubah, 9:43)

Demi ayah dan ibuku, duhai Rasul, sungguh tinggi kedudukanmu di sisi Allâh.  Kendati mengutusmu sebagai Nabi yang terakhir, akan tetapi di dalam wahyu-Nya, terlebih dahulu Ia sebut dirimu sebelum mereka.  Allâh mewahyukan:

وَإِذْ أَخَذْنَا مِنَ النَّبِيِّينَ مِيثَاقَهُمْ وَمِنْكَ وَمِنْ نُوحٍ وَإِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ وَأَخَذْنَا مِنْهُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri), dari Nûh, Ibrâhîm, Mûsâ dan 'Îsâ putera Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh,  (Al-Ahzab, 33:7)

Demi ayah dan ibuku, duhai Rasul, sungguh tinggi kedudukanmu di sisi Allâh, hingga para penghuni Neraka sangat ingin menjadi orang-orang yang mentaatimu, padahal mereka sedang tersiksa di dalamnya.  Mereka berkata:

يَالَيْتَنَا أَطَعْنَا اللهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُوْلاَ
Oh alangkah baiknya andaikata dahulu kami taat kepada Allâh dan taat (pula) kepada Rasul.  (Al-Ahzab, 33:66)

Demi ayah dan ibuku, duhai Rasul, sungguh, jika Mûsâ putra 'Imrân dikaruniai Allâh sebuah batu yang darinya memancar air laksana sungai, maka apakah hal itu lebih menakjubkan dari jari-jemarimu yang bisa memancarkan air? Semoga shalawat Allâh senantiasa terlimpahkan kepadamu.

Demi ayah dan ibuku, duhai Rasul, jika Sulaimân putra Dâwûd dikaruniai Allâh, angin yang bergerak dengan kecepatan sejauh perjalanan sebulan, baik pagi maupun sore, maka apakah hal itu lebih menakjubkan dari Burâq yang menjadi tungganganmu dalam perjalanan menembus tujuh lapis langis dan kemudian subuh hari itu pula engkau telah berada di Abthah guna menunaikan shalat Subuh? Semoga shalawat Allâh senantiasa terlimpahkan kepadamu.

Demi ayah dan ibuku, duhai Rasul, jika 'Îsâ putra Maryam telah dikaruniai Allâh kemampuan untuk menghidupkan kembali orang yang telah meninggal dunia, maka apakah hal itu lebih menakjubkan dari seekor kambing panggang beracun, yang ketika pahanya hendak engkau makan, ia berkata kepadamu

"Jangan engkau memakanku, karena aku beracun."

Demi ayah dan ibuku, duhai Rasul, sungguh, Nûh telah mendoakan kaumnya dengan doanya yang berbunyi:

رَبِّ لاَ تَذَرْ عَلَى اْلأَرْضِ مِنَ الْكَافِرِيْنَ دَيَّارًا
Duhai Tuhanku, jangan Engkau biarkan seorangpun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. (Nûh, 71:26)

Andaikan engkau mendoakan kami seperti itu, niscaya kami semua akan binasa.  Namun, walau punggungmu diinjak, wajahmu berlumuran darah dan gigimu tanggal, yang terucap darimu hanyalah kebaikan.  Engkau justru berkata:

أَللّهُمَّ اغْفِرْ لِقَوْمِيْ فَإِنَّهُمْ لاَ يَعْلَمُوْنَ
Ya Allâh Tuhanku, ampunilah kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui.

Demi ayah dan ibuku, duhai Rasul, walau usiamu sedikit dan umurmu pendek, tetapi pengikutmu melebihi jumlah mereka yang mengikuti Nûh yang panjang usianya.  Sungguh, telah beriman kepadamu anak manusia dalam jumlah yang banyak, sementara tidak beriman kepada Nûh kecuali sejumlah kecil dari mereka.

Demi ayah dan ibuku, duhai Rasul, andaikan engkau hanya mau bergaul dengan orang-orang yang sepadan denganmu, tentulah engkau tidak akan duduk bersama kami.  Andaikan engkau tidak menikah kecuali dengan wanita-wanita yang sepadan denganmu, tentulah engkau tidak akan menikahi wanita-wanita kami.  Andaikan engkau tidak melimpahkan suatu tugas kecuali kepada orang-orang yang sepadan denganmu, tentulah engkau tidak akan menunjuk seorang pun dari kami sebagai wakilmu.  Namun, demi Allâh, engkau duduk bersama kami, menikahi sebagian wanita kami, mewakilkan sesuatu kepada kami, mengenakan pakaian terbuat dari kulit domba, mengendarai keledai, memboncengkan kami, meletakkan makananmu di atas lantai dan setelah makan engkau jilati jari-jemarimu demi merendahkan diri kepada Allâh.  Semoga shalawat dan salam Allâh senantiasa terlimpahkan kepadamu. (Lihat Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya 'Ulumiddin, Darul Fikr, Juz.I, 1995, hal.287.)

Majelis Ar-Raudhah Pusat (Habib Novel bin Muhammad Alaydrus)
📣 Telegram Channel :
Telegram.me/majelisarraudhah

Untuk Bertanya dan Berkomentar silahkan PM atau Japri ke @habibnoval

Qiyâmul Lail Dikutip Dari Buku Miftahussarair Wa Kanzudz Dzakhoir

Qiyâmul Lail
Dikutip Dari Buku Miftahussarair Wa Kanzudz Dzakhoir
Karya Syeikh Abû Bakar bin Sâlim
Diterjemahkan Oleh Ustadz Novel Bin Muhammad Alaydrus, Solo

Allâh Ta’âlâ berfirman kepada Nabi-Nya, Muhammad saw:

يَآاَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ، قُمِ الْلَّيْلَ اِلاَّ قَلِيْلاً، نِّصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيْلاً، أَوْزِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيْلاً
 
“Hai orang yang berselimut (Rasûlullâh), bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit dari padanya, yaitu seperduanya atau kurangi sedikit dari seperdua, atau lebih dari seperdua itu.  Dan bacalah Quran dengan tartil.”  (Al-Muzzammil 73:1-4)
 
Salah seorang sufi berkata, “Sejak 40 tahun yang lalu tiada yang dapat membuatku sedih kecuali terbitnya fajar.”  Sufi yang lain berkata, “Kalau bukan karena malam, tentu aku tidak akan mencintai kehidupan ini walau sesaat.”

Mereka para sufi, semoga Allâh memberi kita manfaat dengannya, telah menemukan kenikmatan yang luar biasa dalam shalat malam.  Mereka menyendiri dengan Tuhan dalam kegelapan malam, saat manusia lelap dalam tidurnya.  Mereka bermunajah kepada Allâh dalam sujud mereka, air mata mereka berderai, nur menyelubungi mereka, hijab tersingkap dan tampaklah keelokan mereka.

سِيْمَا هُمْ فِيْ وُجُوْهِهِمْ مِّنْ أَثَرِالسُّجُوْدِ
  Pada muka mereka tampak tanda-tanda dari bekas sujud.   (Al-Fath 48:29)

اُوْلئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ حَقًّا لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَّرِزْقٌ كَرِيْمٌ
  Mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman, mereka memperoleh beberapa derajat yang tinggi di sisi Tuhan mereka, juga ampunan dan rezeki yang murah. (Al-Anfâl 8:4)

Majelis Ar-Raudhah Pusat (Habib Novel bin Muhammad Alaydrus)
📣 Telegram Channel :
Telegram.me/majelisarraudhah

Untuk Bertanya dan Berkomentar silahkan PM atau Japri ke @habibnoval

Menolak Bencana Dengan Berderma

Menolak Bencana Dengan Berderma
Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad
Diterjemahkan oleh:
Ustadz Novel bin Muhammad Alaydrus, Solo

  Allâh memberikan kepada manusia berbagai musibah (ujian) dan memerintahkan mereka untuk melakukan berbagai kebaikan.  Jika mereka mau menunaikan perintah Allâh tersebut, maka IA akan memalingkan musibah itu dari mereka.  Sayangnya, mereka dikalahkan oleh setan dan hawa nafsu yang menghalangi mereka untuk melakukan berbagai ketaatan.  Jika mereka mau berjuang melawan setan dan hawa nafsunya, kemudian melaksanakan apa yang diperintahkan Allâh, yaitu mau membantu orang-orang yang membutuhkan, memberi hutang kepada orang yang hendak meminjamnya, memberi makan orang yang kelaparan, memberi pakaian kepada mereka yang telanjang, dan sejenisnya, maka Allâh akan memalingkan musibah yang sedang mereka alami dari mereka semua.  Akan tetapi, jika mereka tidak mau melakukan ini, maka Allâh akan melipatgandakan musibah tersebut.  Setiap kali tertimpa musibah, manusia seharusnya segera berbuat kebajikan, sehingga Allâh akan menghapuskan musibah itu. (Habîb ‘Ahmad bin Hasan bin 'Abdullâh Bin ‘Alwî bin Muhammad bin Ahmad Al-Haddâd, Tatsbîtul Fuâd, juz.1. hal.345-346.)

Majelis Ar-Raudhah Pusat,
Majelis Ar-Raudhah Pusat (Habib Novel bin Muhammad Alaydrus)
📣 Telegram Channel :
Telegram.me/majelisarraudhah

Untuk Bertanya dan Berkomentar silahkan PM atau Japri ke @habibnoval

Sekilas Sejarah Dakwah Habib 'Umar bin Hafîdz Di Indonesia

Sekilas Sejarah Dakwah
Habib 'Umar bin Hafîdz Di Indonesia

Oleh: Novel Bin Muhammad Alaydrus, (Pengasuh Majelis Imu Dan Dzikir AR-RAUDHAH, Solo)

  Habib 'Umar bin Muhammad bin Sâlim bin Hafîdz merupakan seorang pendidik dan sekaligus ahli dakwah.  Meski berasal dari tempat yang terpencil, Tarim, Hadhramaut, namun gema dakwah beliau sampai ke Mekah, Madinah, Oman, Bahrain, Yordania, beberapa negara di Afrika, India, Malaysia, Indonesia, Amerika, Inggris, Kanada dan lain-lain.  Dalam sebagian kunjungan dakwahnya tersebut, CNN, BBC, stasiun TV Bahrain mengambil kesempatan untuk mewawancarainya.

  Pada tahun 1993 beliau berdakwah ke berbagai kota di Indonesia.  Usia beliau saat itu 32 tahun.  Masyarakat Indonesia terpesona melihat kesalehan, keluhuran budi, dan keluasan ilmunya.  Beberapa orang tua, sebagian dari kalangan pondok pesantren, lalu mempercayakan pendidikan putra-putra mereka kepada beliau.  Pada tahun 1998, beliau kembali ke Indonesia menyerahkan sendiri 30 anak yang telah dititipkan kepada beliau setelah dididik dan digembleng di pesantren beliau.  Tentang hal ini, di dalam ceramah yang beliau di hadapan guru kami, Al-Marhûm Habib Muhammad Anîs bin 'Alwî bin 'Alî Al-Habsyî, dalam kesempatan Haul Habib 'Alî bin Muhammad Al-Habsyî yang diselenggarakan setiap tahun di kota Solo, beliau berkata:

  Para pelajar lulusan Tarim yang kalian lihat ini memiliki cerita menarik.  Ketika Habib Anîs berkunjung ke Hadhramaut untuk menghadiri peringatan Maulid Nabi di Anîsah, beliau bertemu dengan Habib 'Abdulqâdir bin Ahmad Assaqqâf dan mertua saya, Habib Muhammad bin 'Abdullâh Al-Haddâr.  Pada kesempatan itu Habib Anîs berkata kepada 'Abdulqâdir bin Ahmad Assaqqâf:

"Aku ingin anak kita, 'Umar, berkunjung ke Indonesia untuk mengingatkan kami pada sejarah para salaf dan apa yang mereka miliki.  Aku ingin anak-anak kita mengetahuinya."

Habib  'Abdulqâdir berkata, "Wahai 'Umar, bulatkan tekadmu, bangkitlah dan bertawakkallah kepada Allâh."

Pada saat itu mertua saya berkata, "Persiapkanlah dirimu, berangkatlah.  Kami sungguh mengkhawatirkan sejarah salaf.  Pergilah, agar mereka mengingat salaf dan keluarga mereka yang akan menyampaikan mereka kepada Allâh."

Akhirnya, berangkatlah saya ke Indonesia lima tahun yang lalu (1993), menghadiri haul ini, pertemuan ini.  Setelah itu saya berkeliling ke berbagai kota. Berkat Habib 'Alî bin Muhammad Al-Habsyî dan niat baik ini (niat Habib Anîs), tergeraklah hati masyarakat.  Mereka satu demi satu datang ke Hadhramaut.  Jumlah mereka saat itu kurang lebih 30 orang yang datang dari berbagai kota di negeri ini; dari kalangan pondok pesantren dan orang-orang yang memiliki perhatian pada dakwah."

Kedatangan awal Habib 'Umar ke negeri ini adalah berkat niat dan tekad mulia Habib Anîs.  Dan Alhamdulillâh, cita-cita mulia beliau tersebut terwujud dengan baik.  Semoga Allâh membalas Al-Marhûm Habib Muhammad Anîs bin 'Alwî bin 'Alî Al-Habsyî dengan sebaik-baik balasan, menempatkan beliau di Surga, bersama para Nabi, Shiddîqîn, Syuhadâ` dan kaum sholihin, Amin.

Kendati masih muda, Habib 'Umar disegani alim ulama, tua maupun muda.  Beliau juga dikenal sebagai pemuda yang tak kenal lelah.  Setiap tarikan napas, setiap energi yang dikeluarkan tubuhnya beliau gunakan untuk mengajar, berdakwah dan beribadah.  Kader-kader Dârul Musthafâ terus mengalir ke berbagai belahan dunia, dan kehadiran mereka selalu disambut gembira.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan Dârul Musthafâ memiliki nama harum dan berkembang pesat, tetapi faktor yang paling menonjol adalah karena pondok ini dikelola oleh seorang pengasuh yang memenuhi segala persyaratan.  Habib 'Umar adalah seorang alim yang mengamalkan ilmunya.  Beliau memiliki visi jauh ke depan; menerapkan dengan ketat managemen dakwah dan pendidikan. Beliau juga dicintai murid-muridnya sehingga memudahkan beliau untuk mengelola, menempa dan mencetak kader-kadernya sebelum diterjunkan ke dalam masyarakat.  Beliau menjaga murid-muridnya, yang dekat maupun yang jauh, seperti seorang ayah terhadap anak-anaknya.  Semoga Allâh memanjangkan usia beliau dalam curahan kebaikan dan kesehatan, serta menjadikan kita sebagai orang-orang yang dapat memetik manfaat dari beliau.  Amin.

Biografi Habib 'Umar bin Hafîdz

Nasab Beliau

Habib 'Umar bin Muhammad bin Sâlim bin Hafîdz bin 'Abdullâh bin Abû Bakar bin Edrûs bin 'Umar bin Edrûs bin 'Umar bin Abû Bakar bin Edrûs bin Husain bin Syeikh Abû Bakar bin Sâlim bin 'Abdullâh bin 'Abdurrahmân bin 'Abdullâh bin Habib 'Abdurrahmân Assaqqâf bin Muhammad bin 'Alî bin 'Alwî bin Muhammad (Al-Faqîh Al-Muqaddam) bin 'Alî bin Muhammad Shâhib Mirbâth bin 'Alî bin 'Alwî bin Muhammad bin 'Alwî bin 'Ubaidillâh bin Ahmad (Al-Muhâjir ilallâh) bin 'Îsâ bin Muhammad bin 'Ali Al-'Uraidhî bin Ja'far Ash-Shâdiq bin Muhammad Al-Bâqir bin 'Alî Zainal 'Âbidîn bin Husain bin 'Alî bin Abû Thâlib dan bin Fâthimah Az-Zahrâ` binti Rasûlillâh saw.

  Beliau lahir di kota Tarim, Hadhramaut, Yaman, pada hari Senin sebelum terbit fajar tanggal 4 Muharram 1383 H yang bertepatan dengan tanggal 27 Mei 1963.

  Beliau menuntut berbagai disiplin ilmu dari sejumlah ulama besar di Hadhramaut, terutama ayah beliau sendiri, kemudian Habib Muhammad bin 'Alwi bin Syihâb, Habib Ahmad bin 'Alî bin Syeikh Abû Bakar, Habib 'Abdullâh bin Syeikh Al-'Aidarûs, Habib 'Abdullâh bin Hasan Bilfaqîh, Habib 'Umar bin 'Alwî Al-Kâf, Habib Ahmad bin Hasan Al-Haddâd, Habib 'Alî Al-Masyhûr bin Muhammad bin Sâlim bin Hafîdz, Habib Sâlim bin 'Abdullâh Asy-Syâthirî, Syeikh Al-Mufti Fadhl bin 'Abdurrahmân Bâ Fadhl dan Syeikh Taufîq Amân.

    Sembari terus belajar, semenjak usia lima belas tahun beliau telah mengajar dan berdakwah.  Kemudian pada permulaan bulan Shafar 1402 H yang bertepatan dengan bulan Desember 1981, beliau pindah ke kota Baidhâ`, dan menetap di Ribâth Al-Haddâr.  Di sana beliau berguru kepada Habib Muhammad bin 'Abdullâh Al-Haddâr dan Habib Zain bin Ibrâhîm bin Sumaith.  Dewasa itu beliau gencar berdakwah dan mengajar di sekitar kota Baidhâ`, Hudaidah dan Ta'iz.  Di kota Ta'iz inilah beliau berguru kepada Al-'Allâmah Al-Musnid Ibrâhîm bin 'Umar bin 'Aqîl.

  Kemudian pada bulan Rajab 1402 H yang bertepatan  dengan bulan April 1982, beliau berkunjung ke Haramain.  Di sana beliau berguru kepada Habib 'Abdulqâdir bin Ahmad Assaqqâf, Habib Ahmad Masyhûr bin Thâhâ Al-Haddâd, Habib Abû Bakar Al-'Aththâs bin 'Abdullâh Al-Habsyî.  Beliau juga memperoleh ijazah sanad Hadis dari Al-Musnid Syeikh Muhammad Yâsîn Al-Faddânî dan Muhadditsul Haramain Sayyid Muhammad bin 'Alwî Al-Mâlikî serta sejumlah ulama lainnya.

  Selanjutnya pada tahun 1413 H/1992 M, beliau pindah ke kota Syihr dan mengajar di Ribâth Syihr.  Beliau menetap di sana selama beberapa tahun.  Satu tahun setengah sebelum ke Syihr, beliau tinggal di Oman untuk mengajar dan berdakwah di sana.

  Setelah itu beliau kembali ke kota Tarim, dan pada tahun 1414/1994 beliau mulai merintis pendirian pesantren Dârul Musthafâ yang kemudian secara resmi berdiri pada hari Selasa 29 Dzulhijjah 1417 / 6 Mei 1997.

Solo, 19 Desember 2008
Noval bin Muhammad Alaydrus

✒️ Majelis Ar-Raudhah Pusat (Habib Novel bin Muhammad Alaydrus)
📣 Telegram Channel :
Telegram.me/majelisarraudhah

Untuk Bertanya dan Berkomentar silahkan PM atau Japri ke @habibnoval

Mengapa bertanya? 3

Ulama zaman sekarang hendaknya tidak menyembunyikan ilmu, sehingga orang yang mempunyai persoalan terpaksa harus selalu datang kepada mereka.  Masyarakat zaman kini telah meremehkan urusan agama, perhatian mereka sangat kecil terhadap ilmu dan hal-hal yang bermanfaat bagi kehidupan akhirat.  Bahkan orang yang janggutnya telah berubanpun belum mengetahui syarat-syarat wajib bersuci (thahârah) dan shalat.  Dia juga belum mempelajari ilmu keimananiman kepada Allâh, para malaikatNya, kitab-kitabNya, para rasulNya dan hari akhiryang sesungguhnya wajib ia ketahui.  Perilaku mereka cenderung pada kejahilan.  Jika mereka berakal tentu akan bertanya kepada ulama.
 
Seorang murîd yang hendak mendekatkan diri kepada Allâh, yang berkeinginan untuk mengenal Allâh dan yang ingin berpaling dari segala sesuatu yang dapat merintangi perjalanannya menuju Allâh, hendaknya tidak menanyakan hal-hal yang berhubungan dengan ilmu kecuali bila menyangkut persoalan pribadi yang amat mendesak.  Namun di zaman yang penuh berkah ini, murîd semacam ini lebih sulit ditemukan daripada binatang yang berkepala burung dan bertubuh singa serta ia lebih langka daripada kibrîtul ahmar.

Setiap orang hendaknya banyak bertanya untuk memperoleh manfaat dan tambahan ilmu.  Sebab, seorang mukmin tidak akan pernah merasa puas berbuat kebaikan.  Dalam sebuah hadits disebutkan :

مَنْهُوْمَانِ لاَ يَشْبَعَانِ: مَنْهُوْمُ الْعِلْمِ وَ مَنْهُوْمُ الْمَالِ
(Ada) dua orang rakus yang tidak pernah puas (kenyang), orang yang rakus ilmu dan orang yang rakus harta.              (HR Thabarânî dari Ibnu Mas‘ûd)

  Sebelum membaktikan diri kepada Allâh, Dâwûd Ath-Thô`î rahimahullah bergaul dengan ulama.  Ia menghadiri majelis Imam Abû Hanîfah selama kurang lebih satu tahun.  Suatu saat ia menghadapi suatu persoalan.  Keinginannya untuk mengetahui jawaban atas persoalan tersebut lebih besar dari keinginan seseorang yang kehausan untuk meminum air segar.  Namun ia tidak menanyakannya.  Karena itulah aku katakan bahwa seorang murîd hendaknya tidak bertanya kecuali untuk persoalan-persoalan darurat.

Mengapa bertanya? 2

Di balik persoalan yang mendalam ini tersimpan sebuah rahasia mulia yang tidak tepat untuk disebutkan di dalam buku ini, maka carilah rahasia itu dengan bersandar pada wahyu Allâh Ta‘âlâ :
مَنْ يُّطِعِ الرَّسُوْلَ فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ
Barang siapa mentaati rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allâh.                               (QS An Nisâ`, 4:80)

إِنَّ الَّذِيْنَ يُبَايِعُوْنَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُوْنَ اللهَ
  Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepadamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allâh.                                    (QS Al-Fath, 48:10)
  Seorang murîd atau pelajar ketika bertanya kepada Syeikh atau gurunya hendaknya tidak berniat lain kecuali untuk menuntut ilmu.  Berhati-hatilah, jangan sampai pertanyaan diajukan untuk menguji, karena murîd seperti ini tidak akan pernah mencapai tujuannya dan akan merugi.

Seorang Syeikh atau seorang alim, ketika ditanya oleh para murîd-nya mengenai suatu persoalan yang berbahaya untuk diketahui atau persoalan yang pemahaman mereka belum sampai ketingkatan itu, maka hendaknya ia menjelaskan bahwa mereka belum waktunya untuk menerima jawaban bagi persoalan itu.  Tentunya setelah ia yakin, bahwa ucapannya tersebut tidak akan meluluhkan hati mereka, membahayakan agama mereka dan tidak akan memalingkan mereka dari menuntut ilmu.  Jika tidak demikian, maka sang syeikh harus berusaha menyesuaikan jawabannya sebatas ilmu dan pemahaman para murîd-nya.  Jika ia enggan, janganlah kemudian berkata sebagaimana perkataan sebagian ahli hakikat :

عَلَيَّ نَحْتُ الْقَوَافِيْ مِنْ مَعَادِنِهَا    وَ مَا عَلَيَّ إِذَا لَمْ تَفْهَمِ الْبَقَرُ
Kewajibanku hanyalah menyusun
bait-bait syair dari sumbernya
Dan bukan tanggung jawabku
jika sapi tak mampu memahaminya

Ungkapan ini hanya berlaku pada keadaan dan tempat yang khusus.  Seorang syeikh atau seorang alim itu bagaikan seorang ayah yang penuh kasih sayang atau pengasuh yang santun.  Dalam berbicara dan bergaul, ia selalu menebarkan kemaslahatan dan manfaat.

Bertanya dengan tujuan menguji diijinkan dalam dua keadaan tertentu, yaitu :

Pertama

Bagi seorang alim yang suka memberikan nasihat dan memiliki rasa kasih sayang.  Dia boleh bertanya untuk menguji dengan maksud menasehati seseorang yang telah dikuasai oleh rasa bangga diri yang dapat merintanginya untuk menuntut ilmu dan  membuatnya enggan mengakui keunggulan orang-orang yang telah diakui kemuliaannya.  Dengan nasehat itu diharapkan ia dapat menyadari kesalahannya.  Nasehat ini akan lebih mengena jika tidak diberikan di depan umum.

Kedua

Bagi seorang alim, ketika melihat seorang munafik yang pandai berbicara.  Jika ia khawatir, bahwa si munafik akan menyesatkan orang-orang yang lemah imannya dengan mengajarkan hal-hal yang menyalahi tuntunan agama, maka ia boleh bertanya di hadapan mereka untuk menguji, yaitu untuk menunjukkan kesalahan dan kebodohan si munafik, dengan niat untuk memberi nasehat dan memperingatkan dia akan aib-aibnya sambil berharap agar ia sadar kembali dan tunduk kepada Allâh.  Inilah yang dilakukan para ulama radhiyallahu ‘anhum  di dalam perdebatan mereka dengan ahli bid‘ah, orang yang menyeleweng dan suka memutar-balikkan fakta.

Seorang alim tidak boleh berdiam jika ditanya tentang ilmu yang wajib ia ajarkan.  Sebagaimana sabda Rasûlullâh shallallâhu 'alahi wa sallam :

مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ أَلْجَمَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ
Barang siapa ditanya tentang suatu ilmu kemudian ia menyembunyikannya, maka kelak di hari kiamat Allâh akan mengikatkan tali kekang yang terbuat dari api (di kepalanya).
(HR Ahmad dan Abû Dawud)

Mengapa bertanya?

Mengapa Bertanya?
(Habib 'Abdullah Bin 'Alwi Al-Haddad)

 
  Bertanya pada saat ada keperluan, sewaktu menghadapi persoalan atau dengan tujuan untuk memperluas ilmu adalah kebiasaan orang-orang saleh di mana saja di sepanjang masa.  Jika ilmu itu adalah sesuatu yang wajib diketahui, maka mempelajarinya pun juga menjadi kewajiban.  Adapun ilmu-ilmu tambahan, maka mempelajarinya merupakan suatu keutamaan.

  Bertanya adalah kunci untuk memahami rahasia-rahasia ilmu dan menyingkap kegaiban yang tersimpan di dalam hati.  Sebagaimana harta benda di rumah yang tidak bisa diambil kecuali dengan kunci, demikian pula ilmu kaum ulama dan ‘ârifîn, tidak akan dapat dipelajari ataupun diambil manfaatnya, kecuali dengan mengajukan pertanyaan dengan jujur, dengan keinginan yang kuat serta dengan adab yang baik.

  Allâh Ta‘âlâ memerintahkan kita untuk bertanya :
فَسْئَلِ الَّذِيْنَ يَقْرَؤُوْنَ الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكَ
  “Maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu”      (QS Yûnus, 10: 94)

فَسْئَلُوْا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ (لا) بِالْبَيِّنَاتِ وَ الزُّبُرِ
  “Maka bertanyalah kepada orang-orang yang memiliki pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, dengan keterangan keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab.”                                        (QS An-Nahl, 16: 43-44)

Rasûlullâh shallallâhu 'alahi wa sallam bersabda :
حُسْنُ السُّؤَالِ نِصْفُ الْعِلْمِ
“Pertanyaan yang baik adalah setengah dari ilmu.”
                                   (HR Thabarânî dari Ibnu ‘Umar)

  Tujuan para imam memamerkan kedalaman ilmu mereka adalah agar mereka ditanya dan diminta ilmunya.  Sebagaimana yang dilakukan oleh Sayyidinâ ‘Alî karromallahu wajhah, Ibnu Mas‘ûd, Ibnu ‘Abbâs, Ibnu ‘Umar, Abû Hurairah dan para salaf maupun khalaf radhiyallôhu ‘anhum.  Beberapa ulama, diantaranya ‘Urwah bin Zubair, Hasan al-Bashrî, dan Qatâdah sangat menganjurkan masyarakat untuk bertanya.  Sufyân Ats-Tsaurî jika memasuki suatu daerah dan tidak ada seorang pendudukpun yang bertanya tentang ilmu, ia berkata, “Di kota ini ilmu telah mati.”  Ia lalu segera meninggalkan daerah itu.
 
  Suatu ketika Asy-Syiblî rahimahullah membuka majelisnya, namun tidak seorangpun mengajukan pertanyaan, beliau kemudian membacakan wahyu Allâh Ta‘âlâ :

وَ وَقَعَ الْقَوْلُ عَلَيْهِمْ بِمَا ظَلَمُوْا فَهُمْ لاَ يَنْطِقُوْنَ
Dan jatuhlah perkataan (azab) atas mereka disebabkan kezaliman mereka, maka mereka tidak dapat berkata (apa pun)              (QS An-Naml, 27: 85)

  Seorang yang alim kadang-kala bertanya kepada mereka  yang hadir di dalam majelisnya dengan maksud agar yang lain dapat mengambil manfaat dari pertanyaan itu atau untuk menyelidiki seberapa dalam pengetahuan mereka.

  Dalam sebuah hadits sahih diriwayatkan bahwa ketika Rasûlullâh shallallâhu 'alahi wa sallam berada di antara para sahabatnya, beliau menguji mereka dengan pertanyaan tentang sebuah pohon yang daunnya tidak rontok.  Pohon itu mencerminkan kepribadian seorang mukmin.  Para sahabat tidak ada yang mampu menjawab.  Kemudian Rasûlullâh shallallâhu 'alahi wa sallam memberitahukan jawabannya, yaitu pohon kurma.  Ibnu ‘Umar, yang berada di tengah-tengah mereka sudah mengetahui jawabannya, tetapi diam saja.  Ia kemudian memberitahukan kejadian itu kepada ayahnya.  Ternyata sikap diamnya itu dicela oleh ayahnya.

  Sayyidinâ ‘Umar radhiyallahu ‘anhu  sering bertanya kepada orang yang duduk bersamanya. Jika pertanyaannya dijawab dengan kalimat wallahu a’lam (Allâh Lebih Mengetahui), beliau radhiyallahu ‘anhu  marah, “Aku tidak bertanya kepadamu tentang ilmu Allâh, tetapi ilmumu.  Jawablah dengan kalimat: ‘aku tahu’, atau ‘aku tidak tahu’.”

  Seorang alim kadang-kala bertanya kepada salah seorang yang duduk bersamanya tentang sesuatu yang diketahuinya dengan tujuan agar yang lain memperoleh manfaat.  Contohnya adalah pertanyaan Jibrîl ‘alaihis salâm kepada Nabi shallallâhu 'alahi wa sallam di depan para sahabat mengenai Islam, Iman dan Ihsan.