TEMBOK YA'JUJ MA'JUJ | DAJJAL | YA’JUJ DAN MA’JUJ | al jassasah | wasiat ali bin abi thalib kepada hasan | hilal awal bulan romadhon | bid'ah maulid | bid'ah tahlilan

Sabtu, 02 April 2016

Seorang Mukmin adalah Cermin bagi Mukmin lainnya

Seorang Mukmin adalah Cermin bagi Mukmin lainnya

Oleh: Habîb ‘Abdullâh bin Husein bin Thôhir,  Majmû’, Dârul Kutubil ‘Arabiyyah, hal. 126-127.

SAUDARAKU, ketahuilah, sesungguhnya kekasih kita Rasûlullâh saw telah diberi jawâmi’ul kalim (kalimat yang singkat tetapi sarat dengan makna).  Setiap kata yang diucapkan oleh Rasûlullâh saw sarat dengan makna dan memiliki banyak pemahaman.  Setiap orang memahami ucapan beliau saw sesuai dengan pemahaman dan cahaya yang diberikan Allâh kepadanya.  Rasûlullâh saw bersabda:
اَلْمُؤْمِنُ مِرْآةُ الْمُؤْمِنِ
  “Seorang Mukmin adalah cermin bagi Mukmin lainnya.”  (HR Abû Dâwûd)

Hadis di atas memiliki beberapa makna, di antaranya adalah:

Pertama, jika seorang Mukmin melihat berbagai akhlak mulia pada diri saudaranya, maka dia akan meneladaninya.  Dan jika dia melihat berbagai sifat tercela dalam diri saudaranya, dan dia mengetahui bahwa dirinya memiliki keburukan yang sama, maka dia segera berusaha membersihkan dan menyingkirkan sifat-sifat tercela itu dari dirinya.

Kedua, ketika seorang Mukmin melihat sebuah sifat tercela pada diri saudaranya, maka dia segera memerintahkan dan meminta saudaranya itu untuk menghilangkannya.  Dia menjadi cermin bagi saudaranya.  Berkat nasihatnya saudaranya dapat melihat aibnya sendiri, seperti cermin yang menampakkan keburukan wajah seseorang.

Ketiga, seorang Mukmin akan memandang kaum Mukminin sesuai dengan keadaan hatinya.  Jika hatinya baik, suci, jujur dan bersih dari berbagai sifat tercela, maka dalam pandangannya semua Mukmin adalah baik.  Dia berprasangka baik kepada seluruh Mukmin dan sama sekali tidak akan berpikiran buruk kepada mereka.  Kau akan melihat dia mudah tertipu oleh setiap orang yang berusaha menipunya dan membenarkan semua ucapan yang disampaikan kepadanya.  Sebab, dalam pandangannya semua orang berakhlak mulia seperti dirinya.  Ini adalah sebuah sifat mulia dan utama yang diberikan Allâh kepada banyak Mukmin.

Tetapi, yang lebih baik dan sempurna adalah seseorang yang mampu melihat sesuatu sebagaimana adanya, baik atau pun buruk, saleh ataupun fasik.

Seorang yang berhati busuk dan bersifat buruk, wal ‘iyâ dzubillâh, maka keburukannya ini akan menjelma pada diri setiap orang yang dilihatnya.  Setiap kali melihat seseorang dia akan berprasangka buruk kepadanya.  Sebab, yang dia lihat adalah gambaran keburukan dirinya sendiri.  Menurutnya semua orang seperti dirinya.  Rasûlullâh saw bersabda:
إِذَا قَالَ اْلإِنْسَانُ هَلَكَ النَّاسُ فَهُوَ أَهْلَكُهُمْ
   “Jika seseorang berkata, ‘Manusia telah binasa,’ maka dialah yang paling binasa.”
(HR Muslim, Abû Dâwûd, Ahmad dan Mâlik)

Seorang penyair berkata:
إِذَا سَآءَ فِعْلُ الْمَرْءِ سَآءَتْ ظُنُوْنُهُ
وَحَـقَّقَ مَا يَعْتَـادُهُ مِنْ تَـوَهُّمِ
وَعَـادَى مُحِبِّيْـهِ بِقَوْلِ عُـدَاتِهِ
وَأَصْبَحَ فِيْ شَكٍّ مِنَ اللَّيْلِ مُظْلِمِ
Jika perilaku seseorang buruk
Maka prasangkanya pun buruk
Dia wujudkan kebiasaannya dengan penuh keraguan
Dan memusuhi para pecintanya
karena ucapan  musuhnya
akhirnya dia berada dalam keraguan
Seperti malam yang gelap gulita

Pernah seorang lelaki mengunjungi seorang saleh yang dikenal sebagai waliyullâh (orang yang dicintai Allâh) dan berkata kepadanya, “Wahai Tuan, aku bermimpi melihatmu dalam wujud seekor babi.”  Sang wali rhm pun menjawab, “Babi itu adalah gambaran dirimu, bukan diriku.  Ketika engkau menghadapiku, maka gambaran dirimu menjelma pada diriku.  Ketika melihat babi itu engkau mengiranya sebagai diriku.  Sesungguhnya itu adalah gambaran dirimu yang menjelma pada diriku.  Andaikata engkau baik, maka engkau akan melihatku dalam wujud yang baik.”

Karena itu kami katakan bahwa setiap orang yang bermimpi melihat Rasûlullâh saw dalam wujud yang baik, maka itu adalah tanda bahwa dirinya baik.  Tetapi, jika tidak demikian, maka itu adalah tanda bahwa dirinya memiliki kekurangan.  Kami tidak mengatakan bahwa keterangan ini berlaku untuk semua orang.  Keterangan ini hanya berlaku untuk orang yang penuh kekurangan ketika bermimpi atau bertemu dengan orang yang sempurna, setingkat dengannya atau orang yang tidak ia ketahui kedudukannya.

Pada umumnya apa yang dilihat oleh seseorang pada diri kaum Mukminin adalah gambaran keadaannya sendiri.  Jika dia baik, maka dia akan melihat kebaikan dan jika dia buruk, maka dia akan melihat keburukan.  Sedangkan apa yang dilihat oleh orang-orang yang memiliki kesempurnaan, seperti para Nabi as dan pewarisnya, dalam mimpi atau di luar mimpi, adalah keadaan yang sebenarnya dari orang yang mereka lihat.  Sebab, gambaran diri orang-orang yang memiliki kesempurnaan tidak akan menjelma pada diri orang lain.  Karena, orang lain memiliki hijab yang terlalu tebal.  Tetapi, gambaran orang lain dapat menjelma pada diri mereka karena kejernihan hati mereka.  Mereka dapat melihat orang lain sesuai keadaannya yang sebenarnya. 

Rasûlullâh saw bersabda:

إِتَّقُوْا فِرَاسَةَ الْمُؤْمِنِ فَإِنَّهُ يَنْظُرُ بِنُوْرِ اللهِ
   “Waspadalah terhadap firasat seorang Mukmin, sesungguhnya dia memandang dengan cahaya Allâh.” (HR Tirmidzî)

Keadaan seperti ini hanya khusus bagi ahlillâh.  Hati-hati jangan tertipu, sebab itulah sumber keburukan.

Keempat, hati seorang Mukmin yang sempurna imannya akan menjadi tempat tajallî Allâh SWT Al-Mu`min.  Sebab, Al-Mu`min adalah salah satu nama Allâh.  Hati seorang Mukmin adalah tempat makrifat.  Allâh SWT berkata dalam sebuah hadis qudsi:
لَنْ تَسَعَنِيْ أَرْضِيْ وَلاَ سَمَآئِيْ وَوَسِعَنِيْ قَلْبُ عَبْدِيْ الْمُؤْمِنِ
  “Bumi dan langit-Ku tidak akan mampu menampung-Ku, dan hati hamba-Ku yang berimanlah yang mampu menampung-Ku.”  (Al-Hadis)
اَلْقَلْبُ بَيْتُ الرَّبِّ
  “Hati adalah rumah Allâh.”  (Al-Hadis)

Arti kedua hadis ini adalah hati merupakan tempat bermakrifat kepada Allâh.  Wallâhu Subhânahu wa Ta'âlâ a’lam.

📣 Telegram Channel :
http://bit.ly/majelisarraudhah

Untuk Bertanya dan Berkomentar silahkan PM atau Japri ke @habibnoval

Jangan lupa share artikel di atas kepada semua umat Islam di manapun mereka berada….. 😊😊😊

Mengenal Imam Ghazâlî

Mengenal Imam Ghazâlî

Oleh Ustadz Novel Bin Muhammad Alaydrus
Pengasuh Majelis Ilmu Dan Dzikir AR-RAUDHAH, SOLO

Nama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazâlî Ath-Thûsî tidaklah asing bagi dunia ilmu, khususnya Islam.  Beliau adalah seorang ulama besar yang lahir pada tahun 450 H di Thûs.  Kedua orang tua beliau berasal dari keluarga miskin yang baik.  Ayah beliau seorang pemintal kain yang suka mengunjungi para ulama, menghadiri majelis ilmu dan membantu mereka sesuai dengan kemampuannya.  Jika mendengar untaian nasihat mereka, ia menangis; memohon agar Allâh mengaruniainya seorang putra yang berilmu.  Allâh pun mengabulkan doanya.  Beliau memperoleh seorang putra yang bernama Muhammad yang di kemudian hari kita kenal sebagai Imam Ghazâlî.

Sayang, ayah yang saleh ini belum sempat melihat secara langsung keberhasilan putranya dan buah dari doanya.  Ketika Imam Ghazâlî masih kanak-kanak, ayah beliau meninggal dunia.  Sebelum meninggal, ia telah menitipkan Imam Ghazâlî dan kakaknya yang bernama Ahmad kepada seorang sufi yang miskin.  Dalam pesannya kepada sufi tersebut ia berkata, "Selama hidupku, aku tidak sempat belajar menulis.  Hal ini membuatku sangat sedih.  Kuharap kedua anakku ini dapat menutupi kekuranganku ini.  Ajarilah keduanya menulis.  Tak jadi soal jika kau habiskan sedikit warisan ini untuk membiayai keperluan mereka."

Keduanya menyetujui usulan Sang sufi kemudian menuntut ilmu di sebuah sekolah guna mendapatkan makanan penyambung nyawa.  Pengalaman masa kecil ini selalu beliau kenang, Imam Ghazâlî berkata, "Dahulu kami menuntut ilmu bukan karena Allâh (untuk mencari makan), tetapi ilmu itu tidak mengizinkannya, sehingga akhirnya kami mencari ilmu hanya karena Allâh."

Dari Thûs, Imam Ghazâlî menuju Jurjan dan belajar kepada sejumlah ulama di kota tersebut. Meskipun masih kecil, tetapi beliau rajin mencatat berbagai keterangan yang disampaikan para gurunya.  Catatan-catatan itu kemudian beliau jilid menjadi sebuah buku.  Karena memiliki buku catatan, Imam Ghazâlî tidak menghapal ilmunya.  Suatu hari, dalam sebuah perjalanan menuju kota kelahirannya, rombongan beliau dihadang oleh sekawanan perampok.  Mereka merampok segala-galanya.  Segala perlengkapan beliau termasuk buku catatan tersebut juga diambil.   Dengan berani, Imam Ghazâlî mengejar kawanan perampok itu.  Merasa dibuntuti, pimpinan perampok itu berpaling dan berkata, "Celaka kau, kembalilah atau kubunuh kau."

Imam Ghazâlî tak gentar, beliau berkata kepadanya, "Dengan kebesaran Allâh yang kepada-Nya kau memohon keselamatan, tolong kembalikan bukuku.  Ia tidak bermanfaat bagi kalian."

"Buku apa?" tanya pimpinan perampok itu.

"Sebuah buku di dalam tas kecil itu.  Aku telah melakukan perjalanan jauh untuk mendengarkan petuah para ulama dan kemudian semua keterangan mereka kucatat dalam buku itu," jawab Imam Ghazâlî.

Pimpinan perampok itu tertawa terbahak-bahak kemudian berkata, "Sekarang kau tidak mengetahui apa-apa.  Bukumu bersama kami.  Kau tidak memiliki ilmu lagi."

Kemudian ia perintahkan anak buahnya untuk menyerahkan buku itu kepada Imam Ghazâlî.  Imam Ghazâlî menyadari bahwa Allahlah yang menuntun pimpinan perampok tersebut untuk berbicara seperti itu.

Setibanya di Thûs, Imam Ghazâlî berjuang menghapalkan semua catatannya.  Dalam waktu tiga tahun, beliau berhasil menghapalnya.  Setelah itu tidak ada lagi perampok yang dapat merampas ilmunya.

Setelah itu Imam Ghazâlî merantau keberbagai kota untuk menuntut ilmu hingga menjadi ulama besar yang berjiwa mulia.  Akhirnya pada hari Senin 505 H, dalam usia 55 tahun, Imam Ghazâlî berpulang ke rahmatullâh.  Kakak beliau Ahmad berkata, "Pada Subuh hari Senin, adikku berwudhu dan menunaikan shalat.  Setelah itu ia berkata, 'Ambilkan aku kain kafan.'  Setelah menciumi kain kafan itu dan meletakkannya di atas kedua matanya, ia berkata, 'Aku siap menghadap kepada Allâh yang Maha Memiliki.'  Ia lalu menjulurkan kedua kakinya, berbaring menghadap kiblat, dan meninggalkan dunia yang fana ini menuju keridhaan Allâh Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.  Semoga Allâh menempatkan beliau di Surga yang paling tinggi, bersama para Nabi, syuhada dan shalihin.

📣 Telegram Channel :
http://bit.ly/majelisarraudhah

Untuk Bertanya dan Berkomentar silahkan PM atau Japri ke @habibnoval

Jangan lupa share artikel di atas kepada semua umat Islam di manapun mereka berada….. 😊😊😊

Wanita Haidh Berdiam Di Masjid

Wanita Haidh Berdiam Di Masjid

Oleh Ustadz Novel Bin Muhammad Alaydrus
Pengasuh Majelis Ilmu Dan Dzikir AR-RAUDHAH, SOLO

Tanya:

Bolehkah wanita yang haidh berdiam di masjid?

Jawab:

Masjid adalah rumah Allâh. Allâh memuliakan, mensucikan dan menjaganya dari segala bentuk kotoran.  Oleh karena itu, di dalam sebuah hadits, Rasûlullâh shallallâhu 'alahi wa sallam bersabda :

إِنِّيْ لاَ أُحِلُّ المَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلاَ جُنُبٍ
Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi wanita haidh dan orang yang sedang junub.
(HR Abû Dâwûd, Ibnu Khuzaimah dan Baihaqî)

Dalam hadits yang lain, Rasûlullâh shallallâhu 'alahi wa sallam bersabda :

إِنَّ الْمَسْجِدَ لاَ يَحِلُّ لِجُنُبٍ وَلاَ لِحَائِضٍ
Sesungguhnya masjid tidak halal bagi orang yang junub dan juga haidh.                        (HR Ibnu Mâjah)

Berdasarkan hadits di atas, maka haram bagi wanita yang haidh maupun dia yang sedang junub untuk berdiam (duduk-duduk dan sejenisnya) di dalam masjid. (Lihat 'Alwî bin 'Abbâs Al-Mâlikî, Ibânatul Ahkâm, Dâruts Tsaqafatul Islâmiah, Beirut, Juz.I, hal.186)

Wanita yang sedang haidh hanya diperbolehkan berjalan melintasi masjid, itupun jika darah haidhnya tidak akan mengotori masjid (Lihat 'Alwî bin 'Abbâs Al-Mâlikî, Ibânatul Ahkâm, Dâruts Tsaqafatul Islâmiah, Beirut, Juz.I, hal.186.).  Sayidatuna 'Âisyah radhiyallâhu 'anhâ menceritakan bahwa pada suatu hari Rasûlullâh shallallâhu 'alahi wa sallam berkata kepadanya :

نَاوِلِينِيْ الْخُمْرَةَ مِنَ الْمَسْجِدِ
"(Wahai 'Âisyah) Ambilkanlah untukku alas duduk dari masjid."

"Sesungguhnya aku sedang haidh", jawab beliau radhiyallâhu 'anhâ.

Mendengar keterangan Sayidatuna 'Âisyah radhiyallâhu 'anhâ, Rasûlullâh shallallâhu 'alahi wa sallam lantas bersabda :
إِنَّ حَيْضَتَكِ لَيْسَتْ فِي يَدِكِ
"Sesungguhnya haidhmu bukan di tanganmu (bukan kehendakmu)." 
(HR Muslim, Ahmad, Tirmidzî, Abû Dâwûd, Baihaqî, Ibnu Hibbân, Ad-Dârimî dan lainnya)

📣 Telegram Channel :
http://bit.ly/majelisarraudhah

Untuk Bertanya dan Berkomentar silahkan PM atau Japri ke @habibnoval

Jangan lupa share artikel di atas kepada semua umat Islam di manapun mereka berada….. 😊😊😊

Haidh Mencukur Rambut Dan Memotong Kuku

Haidh Mencukur Rambut Dan Memotong Kuku

Oleh Ustadz Novel Bin Muhammad Alaydrus
Pengasuh Majelis Ilmu Dan Dzikir AR-RAUDHAH, SOLO

Tanya :

Bolehkah seorang wanita yang sedang haidh mencukur rambut atau memotong kukunya ? 

Jawab :

Pertama, seorang wanita yang sedang haidh diharamkan untuk melakukan sebelas hal, yaitu :

1.  Shalat
2.  Thawaf
3.  Menyentuh Mushaf
4.  Membawa Mushaf
5.  Berdiam di Masjid
6.  Membaca Al-Qur’an
7.  Puasa
8.  Bercerai
9.  Berjalan melintasi masjid jika dikhawatirkan akan mengotorinya
10.  Bersetubuh (menikmati sesuatu di antara pusar dan lutut)
11.  Berwudhu

(Lihat Ahmad bin 'Umar Asy-Syâthirî, Nailur Rajâ`, Dârul Minhâj, hal.88-90.)

Jika kita perhatikan, mencukur rambut atau memotong kuku tidaklah termasuk satu dari kesebelas hal yang diharamkan di atas.  Kendati demikian, sebaiknya hal tersebut tidak dilakukan kecuali setelah ia suci.  Imam Al-Ghazâlî di dalam bukunya, Ihyâ 'Ulûmiddîn menjelaskan :

وَلاَ يَنْبَغِيْ أَنْ يَحْلِقَ أَوْ يَقْلِمَ أَوْ يَسْتَحِدَّ أَوْ يُخْرِجَ الدَّمَ أَوْ يُبِيْنَ مِنْ نَفْسِهِ جُزْءاً وَ هُوَ جُنُبٌ، إِذْ تَرِدُ إِلَيْهِ سَائِرُ أَجْزَائِهِ فيْ اْلآخِرَةِ فَيَعُوْدُ جُنُباً، وَيُقَالُ: إِنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ تُطَالِبُهُ بِجَنَابَتِهَا

Seorang yang sedang junub hendaknya tidak mencukur rambutnya atau memotong kukunya atau mencukur rambut kemaluannya atau mengeluarkan darah atau menghilangkan salah satu bagian tubuhnya.  Sebab, seluruh bagian tubuh tersebut akan mendatanginya dalam keadaan junub (berhadats besar).  Dan dinyatakan pula bahwa setiap rambut kelak akan menuntutnya karena ia kembali ke tubuh dalam keadaan junub. (Muhammad bin Muhammad Al-Ghazâlî, Ihyâ 'Ulûmiddîn, Dârul Fikr, 1995, Juz.II, hal.37.)

Berdasarkan pendapat Imam Al-Ghazâlî di atas, seseorang yang sedang berhadats besar, baik junub maupun haidh, sebaiknya tidak mencukur rambut, memotong kuku, berbekam, mencabut gigi, dan sejenisnya agar kelak seluruh anggota tubuhnya dikembalikan kepadanya dalam keadaan suci.

📣 Telegram Channel :
http://bit.ly/majelisarraudhah

Untuk Bertanya dan Berkomentar silahkan PM atau Japri ke @habibnoval

Jangan lupa share artikel di atas kepada semua umat Islam di manapun mereka berada….. 😊😊😊

KEKUATAN FIRASAT MUKMIN

KEKUATAN FIRASAT MUKMIN

Oleh Habib Ali bin Husein Al-‘Athâs Bungur

Allâh akan memberi seorang Mukmin cahaya sesuai tingkat keimanannya.  Dengan cahaya itu dia mampu melihat hakikat segala sesuatu dan tidak tertipu oleh bentuk lahiriahnya.  Menurut para Muhaqqiq iman akan bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan maksiat.  Oleh karena itu seorang Mukmin jangan mencela orang lain jika ia tidak merasakan kehadiran cahaya tersebut dalam dirinya.  Ia harus mencela dirinya sendiri.
وَمَنْ لَمْ يَجْعَلِ اللهُ لَهُ نُوْرًا فَمَا لَهُ مِنْ نُوْرٍ
Dan barang siapa tidak diberi cahaya oleh Allâh, maka sedikit pun dia tidak memiliki cahaya.  (An-Nûr, 24:40)

Agar lebih jelas simaklah kisah berikut:

Dahulu ada seorang ahli Kitab yang menyamar sebagai seorang Muslim dan berusaha mencari-cari kesalahan umat Islam.  Ia suka menghadiri majelis para ulama dan mengajukan berbagai pertanyaan yang berat.  Pada suatu hari ia menghadiri majelis seorang ulama yang saleh dan memiliki cahaya.  Ia bertanya kepadanya, “Wahai Tuanku, apakah makna sabda Nabi saw berikut:
إِتَّقُوْا فِرَاسَةَ الْمُؤْمِنِ فَإِنَّهُ يَنْظُرُ بِنُوْرِ اللهِ
“Waspadalah terhadap firasat seorang Mukmin, karena sesungguhnya dia memandang dengan cahaya Allâh.”  (HR Tirmidzî)

Orang saleh itu menunduk sejenak lalu mengangkat kepalanya dan berkata, “Makna sabda Rasûlullâh saw tadi adalah potonglah Zunnâr (Zunnâr: selendang yang harus dikenakan oleh kafir dzimmî yang hidup di negara Islam, untuk membedakan mereka dengan umat Islam.) yang terikat di dadamu dan keluarlah engkau dari masjid.”

Ia menjelaskan hakikat hadis itu dan sekaligus membongkar rahasia si penanya yang kafir itu.  Si ahli kitab lalu menghampiri sang Syeikh, bersimpuh di hadapannya lalu berkata, “Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allâh dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad saw adalah utusan-Nya.”  Ia kemudian menjadi seorang Muslim yang baik.

Disadur dari buku, Tâjul A’rôs, I, karya Habib Ali bin Husein Al-‘Athâs, penerbit Menara Kudus, cet. ke-1, Agustus 1977, Hal.138.

📣 Telegram Channel :
http://bit.ly/majelisarraudhah

Untuk Bertanya dan Berkomentar silahkan PM atau Japri ke @habibnoval

Jangan lupa share artikel di atas kepada semua umat Islam di manapun mereka berada….. 😊😊😊