TEMBOK YA'JUJ MA'JUJ | DAJJAL | YA’JUJ DAN MA’JUJ | al jassasah | wasiat ali bin abi thalib kepada hasan | hilal awal bulan romadhon | bid'ah maulid | bid'ah tahlilan

Minggu, 27 Maret 2016

Mengapa bertanya? 2

Di balik persoalan yang mendalam ini tersimpan sebuah rahasia mulia yang tidak tepat untuk disebutkan di dalam buku ini, maka carilah rahasia itu dengan bersandar pada wahyu Allâh Ta‘âlâ :
مَنْ يُّطِعِ الرَّسُوْلَ فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ
Barang siapa mentaati rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allâh.                               (QS An Nisâ`, 4:80)

إِنَّ الَّذِيْنَ يُبَايِعُوْنَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُوْنَ اللهَ
  Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepadamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allâh.                                    (QS Al-Fath, 48:10)
  Seorang murîd atau pelajar ketika bertanya kepada Syeikh atau gurunya hendaknya tidak berniat lain kecuali untuk menuntut ilmu.  Berhati-hatilah, jangan sampai pertanyaan diajukan untuk menguji, karena murîd seperti ini tidak akan pernah mencapai tujuannya dan akan merugi.

Seorang Syeikh atau seorang alim, ketika ditanya oleh para murîd-nya mengenai suatu persoalan yang berbahaya untuk diketahui atau persoalan yang pemahaman mereka belum sampai ketingkatan itu, maka hendaknya ia menjelaskan bahwa mereka belum waktunya untuk menerima jawaban bagi persoalan itu.  Tentunya setelah ia yakin, bahwa ucapannya tersebut tidak akan meluluhkan hati mereka, membahayakan agama mereka dan tidak akan memalingkan mereka dari menuntut ilmu.  Jika tidak demikian, maka sang syeikh harus berusaha menyesuaikan jawabannya sebatas ilmu dan pemahaman para murîd-nya.  Jika ia enggan, janganlah kemudian berkata sebagaimana perkataan sebagian ahli hakikat :

عَلَيَّ نَحْتُ الْقَوَافِيْ مِنْ مَعَادِنِهَا    وَ مَا عَلَيَّ إِذَا لَمْ تَفْهَمِ الْبَقَرُ
Kewajibanku hanyalah menyusun
bait-bait syair dari sumbernya
Dan bukan tanggung jawabku
jika sapi tak mampu memahaminya

Ungkapan ini hanya berlaku pada keadaan dan tempat yang khusus.  Seorang syeikh atau seorang alim itu bagaikan seorang ayah yang penuh kasih sayang atau pengasuh yang santun.  Dalam berbicara dan bergaul, ia selalu menebarkan kemaslahatan dan manfaat.

Bertanya dengan tujuan menguji diijinkan dalam dua keadaan tertentu, yaitu :

Pertama

Bagi seorang alim yang suka memberikan nasihat dan memiliki rasa kasih sayang.  Dia boleh bertanya untuk menguji dengan maksud menasehati seseorang yang telah dikuasai oleh rasa bangga diri yang dapat merintanginya untuk menuntut ilmu dan  membuatnya enggan mengakui keunggulan orang-orang yang telah diakui kemuliaannya.  Dengan nasehat itu diharapkan ia dapat menyadari kesalahannya.  Nasehat ini akan lebih mengena jika tidak diberikan di depan umum.

Kedua

Bagi seorang alim, ketika melihat seorang munafik yang pandai berbicara.  Jika ia khawatir, bahwa si munafik akan menyesatkan orang-orang yang lemah imannya dengan mengajarkan hal-hal yang menyalahi tuntunan agama, maka ia boleh bertanya di hadapan mereka untuk menguji, yaitu untuk menunjukkan kesalahan dan kebodohan si munafik, dengan niat untuk memberi nasehat dan memperingatkan dia akan aib-aibnya sambil berharap agar ia sadar kembali dan tunduk kepada Allâh.  Inilah yang dilakukan para ulama radhiyallahu ‘anhum  di dalam perdebatan mereka dengan ahli bid‘ah, orang yang menyeleweng dan suka memutar-balikkan fakta.

Seorang alim tidak boleh berdiam jika ditanya tentang ilmu yang wajib ia ajarkan.  Sebagaimana sabda Rasûlullâh shallallâhu 'alahi wa sallam :

مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ أَلْجَمَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ
Barang siapa ditanya tentang suatu ilmu kemudian ia menyembunyikannya, maka kelak di hari kiamat Allâh akan mengikatkan tali kekang yang terbuat dari api (di kepalanya).
(HR Ahmad dan Abû Dawud)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar