Mengapa Bertanya?
(Habib 'Abdullah Bin 'Alwi Al-Haddad)
Bertanya pada saat ada keperluan, sewaktu menghadapi persoalan atau dengan tujuan untuk memperluas ilmu adalah kebiasaan orang-orang saleh di mana saja di sepanjang masa. Jika ilmu itu adalah sesuatu yang wajib diketahui, maka mempelajarinya pun juga menjadi kewajiban. Adapun ilmu-ilmu tambahan, maka mempelajarinya merupakan suatu keutamaan.
Bertanya adalah kunci untuk memahami rahasia-rahasia ilmu dan menyingkap kegaiban yang tersimpan di dalam hati. Sebagaimana harta benda di rumah yang tidak bisa diambil kecuali dengan kunci, demikian pula ilmu kaum ulama dan ‘ârifîn, tidak akan dapat dipelajari ataupun diambil manfaatnya, kecuali dengan mengajukan pertanyaan dengan jujur, dengan keinginan yang kuat serta dengan adab yang baik.
Allâh Ta‘âlâ memerintahkan kita untuk bertanya :
فَسْئَلِ الَّذِيْنَ يَقْرَؤُوْنَ الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكَ
“Maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu” (QS Yûnus, 10: 94)
فَسْئَلُوْا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ (لا) بِالْبَيِّنَاتِ وَ الزُّبُرِ
“Maka bertanyalah kepada orang-orang yang memiliki pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, dengan keterangan keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab.” (QS An-Nahl, 16: 43-44)
Rasûlullâh shallallâhu 'alahi wa sallam bersabda :
حُسْنُ السُّؤَالِ نِصْفُ الْعِلْمِ
“Pertanyaan yang baik adalah setengah dari ilmu.”
(HR Thabarânî dari Ibnu ‘Umar)
Tujuan para imam memamerkan kedalaman ilmu mereka adalah agar mereka ditanya dan diminta ilmunya. Sebagaimana yang dilakukan oleh Sayyidinâ ‘Alî karromallahu wajhah, Ibnu Mas‘ûd, Ibnu ‘Abbâs, Ibnu ‘Umar, Abû Hurairah dan para salaf maupun khalaf radhiyallôhu ‘anhum. Beberapa ulama, diantaranya ‘Urwah bin Zubair, Hasan al-Bashrî, dan Qatâdah sangat menganjurkan masyarakat untuk bertanya. Sufyân Ats-Tsaurî jika memasuki suatu daerah dan tidak ada seorang pendudukpun yang bertanya tentang ilmu, ia berkata, “Di kota ini ilmu telah mati.” Ia lalu segera meninggalkan daerah itu.
Suatu ketika Asy-Syiblî rahimahullah membuka majelisnya, namun tidak seorangpun mengajukan pertanyaan, beliau kemudian membacakan wahyu Allâh Ta‘âlâ :
وَ وَقَعَ الْقَوْلُ عَلَيْهِمْ بِمَا ظَلَمُوْا فَهُمْ لاَ يَنْطِقُوْنَ
Dan jatuhlah perkataan (azab) atas mereka disebabkan kezaliman mereka, maka mereka tidak dapat berkata (apa pun) (QS An-Naml, 27: 85)
Seorang yang alim kadang-kala bertanya kepada mereka yang hadir di dalam majelisnya dengan maksud agar yang lain dapat mengambil manfaat dari pertanyaan itu atau untuk menyelidiki seberapa dalam pengetahuan mereka.
Dalam sebuah hadits sahih diriwayatkan bahwa ketika Rasûlullâh shallallâhu 'alahi wa sallam berada di antara para sahabatnya, beliau menguji mereka dengan pertanyaan tentang sebuah pohon yang daunnya tidak rontok. Pohon itu mencerminkan kepribadian seorang mukmin. Para sahabat tidak ada yang mampu menjawab. Kemudian Rasûlullâh shallallâhu 'alahi wa sallam memberitahukan jawabannya, yaitu pohon kurma. Ibnu ‘Umar, yang berada di tengah-tengah mereka sudah mengetahui jawabannya, tetapi diam saja. Ia kemudian memberitahukan kejadian itu kepada ayahnya. Ternyata sikap diamnya itu dicela oleh ayahnya.
Sayyidinâ ‘Umar radhiyallahu ‘anhu sering bertanya kepada orang yang duduk bersamanya. Jika pertanyaannya dijawab dengan kalimat wallahu a’lam (Allâh Lebih Mengetahui), beliau radhiyallahu ‘anhu marah, “Aku tidak bertanya kepadamu tentang ilmu Allâh, tetapi ilmumu. Jawablah dengan kalimat: ‘aku tahu’, atau ‘aku tidak tahu’.”
Seorang alim kadang-kala bertanya kepada salah seorang yang duduk bersamanya tentang sesuatu yang diketahuinya dengan tujuan agar yang lain memperoleh manfaat. Contohnya adalah pertanyaan Jibrîl ‘alaihis salâm kepada Nabi shallallâhu 'alahi wa sallam di depan para sahabat mengenai Islam, Iman dan Ihsan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar