Hadits shahih adalah hadits yang terpenuhi padanya lima
syarat:
1. Bersambung sanadnya, yaitu setiap perawi dari sanad bertemu langsung dengan gurunya dan mengambil hadits darinya.
2. Perawinya adil, dan perawi adil adalah yang memenuhi lima syarat: Islam, baligh, berakal, tidak fasiq dan tidak melakukan khawarim al muruah (adab-adab yang tidak islami).
3. Dlabith (menguasai hadits yang ia riwayatkan). Dan dlabith ada dua macam yaitu: dlabith shadr yaitu perawi hadits hafal hadits yg ia riwayatkan diluar kepala. Dan dlabith kitab, yaitu kitab yang ia miliki selamat dari perubahan, kesalahan penulisan, talqin dan sudah dicek kebenarannya.
4. Tidak syadz, yaitu periwayatan perawi yang tsiqah yang bertentangan dengan periwayatan perawi lain yang lebih tsiqah.
5. Tidak ada illatnya, dan illat adalah penyakit hadits yang tersembunyi yang dapat merusak keabsahan hadits.
Menelusuri Keabsahan Hadits
Tidak semua hadits yang sampai kepada kita adalah hadits yang shahih, namun ada hadits yang shahih dan ada pula hadits yang tidak shahih bahkan dusta atas nama Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka kewajiban seorang muslim adalah berhati-hati dalam menyampaikan hadits jangan sampai ia termasuk dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
مَنْ كَذَبَ عَلَيَ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.
“Barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya di dalam api Neraka.”
Dan Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengabarkan akan datangnya orang-orang yang akan berdusta atas nama beliau, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
يَكُوْنُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ دَجَّالُوْنَ كَذَّابُوْنَ يَأْتُوْنَكُمْ مِنَ الأَحَادِيْثِ بِمَا لَمْ تَسْمَعُوْا أَنْتُمْ وَلاَ آبَاؤُكُمْ فَإِيَّاكُمْ وَإِيَّاهُمْ لاَ يَضِلُّوْنَكُمْ وَلاَ يَفْتِنُوْنَكُمْ.
“Akan ada di akhir zaman para dajjal dan para pendusta yang membawa kepada kamu hadits-hadits yang tidak pernah kamu dengar tidak juga bapak-bapakmu, berhati-hatilah dari mereka, jangan sampai mereka menyesatkanmu dan memfitnahmu.” (HR Muslim).
Oleh karena itu para ulama sangat berhati-hati dalam menerima hadits terutama setelah munculnya fitnah dan pemikiran-pemikiran yang menyesatkan seperti syi’ah dan khowarij, sehingga mereka tidak mau mengambil hadits dari setiap orang kecuali setelah dipastikan kelurusan aqidah dan ketsiqohannya.
Mujahid berkata,”Busyair Al ‘Adawi pernah mendatangi ibnu ‘Abbas dan menyampaikan kepadanya hadits, ia berkata “Rosulullah shalllahu ‘alaihi wasalla juga bapak-bapakmu, berhati-hatilah dari mereka, jangan sampai mereka menyesatkanmu dan memfitnahmu.”k pernah kamu dengar tidakm bersabda begini, Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda… namun ibnu ‘Abbas tidak mau mendengarkan dan memperhatikannya, ia berkata,”Wahai ibnu ‘Abbas, mengapa engkau tidak mau mendengarkan haditsku ? aku menyampaikan kepada engkau hadits dari Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasllam tapi engkau tidak mendengarkannya ?
Ibnu ‘Abbas menjawab,”Dahulu kami apabila mendengar seseorang mengatakan “Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda” mata kami segera tertuju kepadanya dan pendengaran kami siap memperhatikannya, namun ketika manusia telah mengambil dari siapa saja, kami tidak mau mengambil dari mereka kecuali yang kami ketahui saja.”
Muhammad bin Sirin seorang tabi’in berkata,”Dahulu mereka tidak pernah bertanya tentang sanad, namun ketika telah terjadi fitnah mereka berkata,”Sebutkan nama-nama perawimu ! lalu dilihat ; jika ia ahlussunnah maka haditsnya diterima dan jika ia ahli bid’ah maka haditsnya ditolak.”
Sanad hadits kebanggaan umat islam.
Abu Bakar ibnul ‘Arobi berkata,”Dan Allah memuliakan umat ini dengan sanad yang tidak diberikan kepada umat manapun, maka waspadalah untuk meniti jalan Yahudi dan Nashrani (yaitu) kamu membawakan hadits dengan tanpa sanad sehingga kamupun mencabut ni’mat Allah dari dirimu sendiri, mendatangkan tuduhan terhadapmu, dan bersekutu dengan kaum yang dilaknat dan dimurkai oleh Allah dan menunggangi tata cara mereka.”
Syaikhul Islam ibnu Taimiyah berkata,”Ilmu sanad dan periwayatan termasuk yang Allah khususkan untuk umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan menjadikannya sebagai tangga menuju diroyah (memahami nash). Ahli kitab tidak mempunyai sanad dalam penukilan-penukilan mereka demikian pula ahli bid’ah dari umat ini, sanad hanyalah diberikan kepada ahlisunnah yang Allah agungkan keni’matan kepada mereka, dengan sanad mereka dapat membedakan antara yang shahih dan yang lemah, antara yang bengkok dan yang lurus.
Sedangkan ahlul bid’ah dan orang-orang kafir hanya sebatas menukil dengan tanpa sanad dan menyandarkan agama mereka kepadanya, bahkan mereka tidak dapat membedakan antara haq dan batil padanya”. Beliau juga berkata: “Sanad termasuk keistimewaan umat islam, dan dalam islam ia adalah keistimewaan ahlussunah. Dan kaum syi’ah rafidlah adalah kaum yang sangat sedikit perhatian mereka terhadap sanad, dimana mereka tidak membenarkan kecuali yang sesuai dengan hawa nafsu mereka saja dan menjadikan tanda dustanya (sebuah hadits) bila tidak sesuai dengan hawa nafsu mereka, oleh karena itu Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah berkata: “Ahlussunnah menulis hadits baik yang mendukung maupun yang tidak mendukung, sedangkan Ahlul hawa hanya menulis hadits yang mendukung mereka saja”.
Ahlul bid’ah meniti jalan lain yang mereka ada-adakan lalu menjadikannya sebagai sandaran, dan mereka menyebutkan Al Qur’an dan hadits hanya sebagai tameng saja bukan sebagai sandaran”.
Al Hafidz ibnu Katsir rahimahullah ketika berbicara tentang Iblis; apakah ia termasuk malaikat atau tidak, beliau berkata dalam tafsirnya:
“Telah diriwayatkan dalam masalah ini banyak atsar dari salaf namun kebanyakannya adalah israiliyat yang hendaknya diperiksa keadaannya, karena diantara kabar israiliyat tersebut ada yang dipastikan kedustaannya karena menyalahi kebenaran yang ada pada kita, dan Al Qur’an telah mencukupi semua kabar-kabar umat terdahulu.
Dan kabar-kabar israiliyat itu tidak lepas dari perubahan, penambahan dan pengurangan bahkan telah dipalsukan kabar yang banyak padanya, karena Ahlul kitab tidak mempunyai para hufadz (penghafal ilmu) yang kokoh yang dapat menangkis perubahan yang dilakukan oleh kalangan ekstrim dan pemalsuan yang dilakukan oleh para pemalsu.
Tidak seperti umat Islam ini, ada pada mereka para ulama pilihan yang bertaqwa, yang kokoh keilmuannya dan tajam pandangannya, para penghafal yang mahir yang telah mencatat hadits dan menjelaskan yang shahih dan hasan dari yang dla’if dan munkarnya serta yang palsu, matruk dan dustanya, mereka juga mengenali para pemalsu dan tukang dusta serta perawi-perawi yang majhul dan macam-macam perawi lainnya. Semua itu dalam rangka menjaga hadits nabi dan kedudukan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai penutup para Nabi agar tidak dinisbatkan kepada beliau perkataan yang dusta atau membawakan hadits dari beliau yang tidak pernah beliau ucapkan. Semoga Allah meridlai mereka dan menjadikan surga Firdaus sebagai tempat tinggal mereka”.
Hadits shahih adalah musnad dengan sanad yang bersambung dengan penukilan
rawi yang berkriteria ‘adil dan dhabith dari rawi lain (gurunya) yang juga
berkriteria ‘adil dan dhabith hingga akhir rantai sanad, dan terhindar dari
syadz dan ‘illat (cacat)[1].
b. Hadits tersebut memiliki sanad yang bersambung (ittishalus sanad)
c. Para perawinya adalah para perawi yang ‘adil dan dhabit
d. Tidak syadz
e. Tidak memiliki ‘illat (cacat).
Penjelasan
Berupa musnad. Hadits tersebut dinisbatkan kepada rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sebuah sanad. Definisi sanad telah dijelaskan pada artikel sebelumnya.
Sanad yang bersambung. Setiap perawi dari para perawi yang terdapat dalam rantai sanad mendengar hadits tersebut dari syaikhnya.
Para perawinya ‘adil dan dhabit. Setiap perawi yang terdapat dalam rantai sanad berkriteria adil dan dhabit.
Dhabt adalah kemampuan rawi untuk menghafal dan menjaga hadits yang diperoleh dari syaikhnya, dalam artian ketika dia bisa memberitakan hadits tersebut sesuai dengan redaksi yang diperdengarkan oleh gurunya kepadanya.
Dhabt terbagi menjadi dua, yaitu:
Dhabtush shadr, yaitu perawi menghafal riwayat secara sempurna dan ia mampu menghadirkan (menyampaikan) riwayat tersebut di waktu kapanpun sesuai dengan redaksi riwayat tatkala mendengar dari syaikhnya.[3]
Dhabtul kitab, perawi menjaga kitab yang berisi catatan hadits dan riwayat yang didengar dari syaikhnya atau sekolompok syaikh, dari kesalahan dengan cara mengoreksinya kepada ashlus syaikh yang memperdengarkan riwayat kepadanya atau dengan membandingkannya dengan kitab rujukan yang valid. Termasuk di dalam pengertian dhabthul kitab adalah perawi menjaga kitab catatannya itu dari tangan orang-orang yang sering menyisipkan hadits ke berbagai kitab yang lain.
Tidak syadz. Secara harfiah syadz berarti bersendiri, sedangkan menurut terminologi, syadz berarti periwayatan seorang rawi yang menyelisihi perawi yang lebih tsiqat darinya. Perincian mengenai hal ini akan disampaikan di pembahasan yang lain.
Tidak memiliki ‘illat. Maksudnya adalah hadits tersebut tidak memiliki cacat tersembunyi yang dapat mencoreng keshahihan hadits[4].
Contoh hadits shahih adalah hadits yang diriwayatkan Al Bukhari dalam Shahihnya 4/18, kitab Al Jihad was Siyar/ Bab Maa Ya’udzu minal Jubn, dia berkata,
Hadits di atas telah memenuhi syarat-syarat sebuah hadits shahih karena alasan berikut:
Pertama
Sanadnya dinisbatkan kepada nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua
Sanadnya bersambung dari awal hingga akhir sanad. Anas bin Malik adalah seorang sahabat yang mendengar dari nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; Sulaiman bin Tarkhan -ayah Mu’tamar- secara tegas menyatakan bahwa dia mendengar hadits tersebut dari Anas; demikian pula Mu’tamar yang menegaskan bahwa dia telah mendengar riwayat tersebut dari ayahnya; Syaikh Al Bukhari (Musaddad) yang tegas mengatakan bahwa dia telah mendengar dari Mu’tamar; dan juga Al Bukhari yang tegas menyatakan bahwa dia telah mendengarnya dari syaikhnya (Musaddad).
Ketiga
Terpenuhinya syarat ‘adl dan dhabt dalam diri masing-masing perawi sanad, dari sahabat Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu hingga mukharrij –nya, yaitu Al Bukhari rahimahullah.
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu adalah seorang sahabat, dan seluruh sahabat -radhilallahu ‘anhum ajma’in- adalah ‘adil.
Sulaiman bin Tarkhan -ayah Mu’tamar- : tsiqat ‘abid.
Anaknya, Mu’tamar : tsiqat.
Musaddad bin Musarhad : tsiqat hafizh
Al Bukhari, penulis kitab Ash Shahih, Muhammad bin Isma’il : jabalul huffazh, amirul mukminin fil hadits.
Keempat
Demikian pula hadits ini tidak berstatus syadz.
Kelima
Tidak pula memiliki ‘illat (cacat).
Dengan demikian hadits di atas memenuhi syarat-syarat hadits shahih. Oleh karena itu, Al Bukhari mencantumkannya dalam kitab Shahihnya.
Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan
dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan
ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan
sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam
hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an.
Ada banyak ulama periwayat hadits, namun yang sering dijadikan referensi hadits-haditsnya ada tujuh ulama, yakni Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Ahmad, Imam Nasa'i, dan Imam Ibnu Majah.
Ada bermacam-macam hadits, seperti yang diuraikan di bawah ini.
“(Dan) kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka. Sesung- guhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.”(QS Yunus 36).
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran dan nesehat-menasehati supaya menetapi kebenaran”.(TQS Al-‘Ashr [103] : 1-3)
1. Bersambung sanadnya, yaitu setiap perawi dari sanad bertemu langsung dengan gurunya dan mengambil hadits darinya.
2. Perawinya adil, dan perawi adil adalah yang memenuhi lima syarat: Islam, baligh, berakal, tidak fasiq dan tidak melakukan khawarim al muruah (adab-adab yang tidak islami).
3. Dlabith (menguasai hadits yang ia riwayatkan). Dan dlabith ada dua macam yaitu: dlabith shadr yaitu perawi hadits hafal hadits yg ia riwayatkan diluar kepala. Dan dlabith kitab, yaitu kitab yang ia miliki selamat dari perubahan, kesalahan penulisan, talqin dan sudah dicek kebenarannya.
4. Tidak syadz, yaitu periwayatan perawi yang tsiqah yang bertentangan dengan periwayatan perawi lain yang lebih tsiqah.
5. Tidak ada illatnya, dan illat adalah penyakit hadits yang tersembunyi yang dapat merusak keabsahan hadits.
Menelusuri Keabsahan Hadits
Tidak semua hadits yang sampai kepada kita adalah hadits yang shahih, namun ada hadits yang shahih dan ada pula hadits yang tidak shahih bahkan dusta atas nama Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka kewajiban seorang muslim adalah berhati-hati dalam menyampaikan hadits jangan sampai ia termasuk dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
مَنْ كَذَبَ عَلَيَ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.
“Barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya di dalam api Neraka.”
Dan Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengabarkan akan datangnya orang-orang yang akan berdusta atas nama beliau, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
يَكُوْنُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ دَجَّالُوْنَ كَذَّابُوْنَ يَأْتُوْنَكُمْ مِنَ الأَحَادِيْثِ بِمَا لَمْ تَسْمَعُوْا أَنْتُمْ وَلاَ آبَاؤُكُمْ فَإِيَّاكُمْ وَإِيَّاهُمْ لاَ يَضِلُّوْنَكُمْ وَلاَ يَفْتِنُوْنَكُمْ.
“Akan ada di akhir zaman para dajjal dan para pendusta yang membawa kepada kamu hadits-hadits yang tidak pernah kamu dengar tidak juga bapak-bapakmu, berhati-hatilah dari mereka, jangan sampai mereka menyesatkanmu dan memfitnahmu.” (HR Muslim).
Oleh karena itu para ulama sangat berhati-hati dalam menerima hadits terutama setelah munculnya fitnah dan pemikiran-pemikiran yang menyesatkan seperti syi’ah dan khowarij, sehingga mereka tidak mau mengambil hadits dari setiap orang kecuali setelah dipastikan kelurusan aqidah dan ketsiqohannya.
Mujahid berkata,”Busyair Al ‘Adawi pernah mendatangi ibnu ‘Abbas dan menyampaikan kepadanya hadits, ia berkata “Rosulullah shalllahu ‘alaihi wasalla juga bapak-bapakmu, berhati-hatilah dari mereka, jangan sampai mereka menyesatkanmu dan memfitnahmu.”k pernah kamu dengar tidakm bersabda begini, Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda… namun ibnu ‘Abbas tidak mau mendengarkan dan memperhatikannya, ia berkata,”Wahai ibnu ‘Abbas, mengapa engkau tidak mau mendengarkan haditsku ? aku menyampaikan kepada engkau hadits dari Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasllam tapi engkau tidak mendengarkannya ?
Ibnu ‘Abbas menjawab,”Dahulu kami apabila mendengar seseorang mengatakan “Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda” mata kami segera tertuju kepadanya dan pendengaran kami siap memperhatikannya, namun ketika manusia telah mengambil dari siapa saja, kami tidak mau mengambil dari mereka kecuali yang kami ketahui saja.”
Muhammad bin Sirin seorang tabi’in berkata,”Dahulu mereka tidak pernah bertanya tentang sanad, namun ketika telah terjadi fitnah mereka berkata,”Sebutkan nama-nama perawimu ! lalu dilihat ; jika ia ahlussunnah maka haditsnya diterima dan jika ia ahli bid’ah maka haditsnya ditolak.”
Sanad hadits kebanggaan umat islam.
Abu Bakar ibnul ‘Arobi berkata,”Dan Allah memuliakan umat ini dengan sanad yang tidak diberikan kepada umat manapun, maka waspadalah untuk meniti jalan Yahudi dan Nashrani (yaitu) kamu membawakan hadits dengan tanpa sanad sehingga kamupun mencabut ni’mat Allah dari dirimu sendiri, mendatangkan tuduhan terhadapmu, dan bersekutu dengan kaum yang dilaknat dan dimurkai oleh Allah dan menunggangi tata cara mereka.”
Syaikhul Islam ibnu Taimiyah berkata,”Ilmu sanad dan periwayatan termasuk yang Allah khususkan untuk umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan menjadikannya sebagai tangga menuju diroyah (memahami nash). Ahli kitab tidak mempunyai sanad dalam penukilan-penukilan mereka demikian pula ahli bid’ah dari umat ini, sanad hanyalah diberikan kepada ahlisunnah yang Allah agungkan keni’matan kepada mereka, dengan sanad mereka dapat membedakan antara yang shahih dan yang lemah, antara yang bengkok dan yang lurus.
Sedangkan ahlul bid’ah dan orang-orang kafir hanya sebatas menukil dengan tanpa sanad dan menyandarkan agama mereka kepadanya, bahkan mereka tidak dapat membedakan antara haq dan batil padanya”. Beliau juga berkata: “Sanad termasuk keistimewaan umat islam, dan dalam islam ia adalah keistimewaan ahlussunah. Dan kaum syi’ah rafidlah adalah kaum yang sangat sedikit perhatian mereka terhadap sanad, dimana mereka tidak membenarkan kecuali yang sesuai dengan hawa nafsu mereka saja dan menjadikan tanda dustanya (sebuah hadits) bila tidak sesuai dengan hawa nafsu mereka, oleh karena itu Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah berkata: “Ahlussunnah menulis hadits baik yang mendukung maupun yang tidak mendukung, sedangkan Ahlul hawa hanya menulis hadits yang mendukung mereka saja”.
Ahlul bid’ah meniti jalan lain yang mereka ada-adakan lalu menjadikannya sebagai sandaran, dan mereka menyebutkan Al Qur’an dan hadits hanya sebagai tameng saja bukan sebagai sandaran”.
Al Hafidz ibnu Katsir rahimahullah ketika berbicara tentang Iblis; apakah ia termasuk malaikat atau tidak, beliau berkata dalam tafsirnya:
“Telah diriwayatkan dalam masalah ini banyak atsar dari salaf namun kebanyakannya adalah israiliyat yang hendaknya diperiksa keadaannya, karena diantara kabar israiliyat tersebut ada yang dipastikan kedustaannya karena menyalahi kebenaran yang ada pada kita, dan Al Qur’an telah mencukupi semua kabar-kabar umat terdahulu.
Dan kabar-kabar israiliyat itu tidak lepas dari perubahan, penambahan dan pengurangan bahkan telah dipalsukan kabar yang banyak padanya, karena Ahlul kitab tidak mempunyai para hufadz (penghafal ilmu) yang kokoh yang dapat menangkis perubahan yang dilakukan oleh kalangan ekstrim dan pemalsuan yang dilakukan oleh para pemalsu.
Tidak seperti umat Islam ini, ada pada mereka para ulama pilihan yang bertaqwa, yang kokoh keilmuannya dan tajam pandangannya, para penghafal yang mahir yang telah mencatat hadits dan menjelaskan yang shahih dan hasan dari yang dla’if dan munkarnya serta yang palsu, matruk dan dustanya, mereka juga mengenali para pemalsu dan tukang dusta serta perawi-perawi yang majhul dan macam-macam perawi lainnya. Semua itu dalam rangka menjaga hadits nabi dan kedudukan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai penutup para Nabi agar tidak dinisbatkan kepada beliau perkataan yang dusta atau membawakan hadits dari beliau yang tidak pernah beliau ucapkan. Semoga Allah meridlai mereka dan menjadikan surga Firdaus sebagai tempat tinggal mereka”.
Dari definisi hadits
shahih di atas, kita dapat memberikan definisi hadits shahih yang lain untuk
memudahkan penuntut ilmu, baha yang dimaksud dengan hadits shahih adalah hadits
yang memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :
a. Hadits tersebut berupa musnadb. Hadits tersebut memiliki sanad yang bersambung (ittishalus sanad)
c. Para perawinya adalah para perawi yang ‘adil dan dhabit
d. Tidak syadz
e. Tidak memiliki ‘illat (cacat).
Penjelasan
Berupa musnad. Hadits tersebut dinisbatkan kepada rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sebuah sanad. Definisi sanad telah dijelaskan pada artikel sebelumnya.
Sanad yang bersambung. Setiap perawi dari para perawi yang terdapat dalam rantai sanad mendengar hadits tersebut dari syaikhnya.
Para perawinya ‘adil dan dhabit. Setiap perawi yang terdapat dalam rantai sanad berkriteria adil dan dhabit.
Apakah yang
dimaksud dengan sifat adil (‘adalah) dan dhabt?
‘Adalah merupakan tabiat yang membawa pelakunya untuk
senantiasa konsisten dalam ketakwaan, menjaga muru-ah (kehormatan), dan
menjauhi berbagai keburukan seperti, kesyirikan, kefasikan, dan bid’ah[2].
Dhabt adalah kemampuan rawi untuk menghafal dan menjaga hadits yang diperoleh dari syaikhnya, dalam artian ketika dia bisa memberitakan hadits tersebut sesuai dengan redaksi yang diperdengarkan oleh gurunya kepadanya.
Dhabt terbagi menjadi dua, yaitu:
Dhabtush shadr, yaitu perawi menghafal riwayat secara sempurna dan ia mampu menghadirkan (menyampaikan) riwayat tersebut di waktu kapanpun sesuai dengan redaksi riwayat tatkala mendengar dari syaikhnya.[3]
Dhabtul kitab, perawi menjaga kitab yang berisi catatan hadits dan riwayat yang didengar dari syaikhnya atau sekolompok syaikh, dari kesalahan dengan cara mengoreksinya kepada ashlus syaikh yang memperdengarkan riwayat kepadanya atau dengan membandingkannya dengan kitab rujukan yang valid. Termasuk di dalam pengertian dhabthul kitab adalah perawi menjaga kitab catatannya itu dari tangan orang-orang yang sering menyisipkan hadits ke berbagai kitab yang lain.
Tidak syadz. Secara harfiah syadz berarti bersendiri, sedangkan menurut terminologi, syadz berarti periwayatan seorang rawi yang menyelisihi perawi yang lebih tsiqat darinya. Perincian mengenai hal ini akan disampaikan di pembahasan yang lain.
Tidak memiliki ‘illat. Maksudnya adalah hadits tersebut tidak memiliki cacat tersembunyi yang dapat mencoreng keshahihan hadits[4].
Contoh hadits shahih adalah hadits yang diriwayatkan Al Bukhari dalam Shahihnya 4/18, kitab Al Jihad was Siyar/ Bab Maa Ya’udzu minal Jubn, dia berkata,
حَدَّثَنَا
مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا مُعْتَمِرٌ قَالَ سَمِعْتُ أَبِى قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ
مَالِكٍ – رضى الله عنه – قَالَ كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ « اللَّهُمَّ
إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْجُبْنِ وَالْهَرَمِ ،
وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ
عَذَابِ الْقَبْرِ »
Musaddad memberitakan hadits kepadaku, dia berkata, ‘Mu’tamar telah
memberitakan hadits kepadaku, dia berkata, ‘Saya telah mendengar ayahku berkata,
‘Saya pernah mendengar Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata, ‘Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdo’a (yang artinya), ‘Wahai Allah,
sungguh saya berlindung kepada-Mu dari sifat lemah, malas, pengecut, dan pikun.
Dan saya berlindung kepada-Mu dari fitnah di kala hidup dan ketika telah mati,
serta saya berlindung kepada-Mu dari siksa kubur.Hadits di atas telah memenuhi syarat-syarat sebuah hadits shahih karena alasan berikut:
Pertama
Sanadnya dinisbatkan kepada nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua
Sanadnya bersambung dari awal hingga akhir sanad. Anas bin Malik adalah seorang sahabat yang mendengar dari nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; Sulaiman bin Tarkhan -ayah Mu’tamar- secara tegas menyatakan bahwa dia mendengar hadits tersebut dari Anas; demikian pula Mu’tamar yang menegaskan bahwa dia telah mendengar riwayat tersebut dari ayahnya; Syaikh Al Bukhari (Musaddad) yang tegas mengatakan bahwa dia telah mendengar dari Mu’tamar; dan juga Al Bukhari yang tegas menyatakan bahwa dia telah mendengarnya dari syaikhnya (Musaddad).
Ketiga
Terpenuhinya syarat ‘adl dan dhabt dalam diri masing-masing perawi sanad, dari sahabat Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu hingga mukharrij –nya, yaitu Al Bukhari rahimahullah.
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu adalah seorang sahabat, dan seluruh sahabat -radhilallahu ‘anhum ajma’in- adalah ‘adil.
Sulaiman bin Tarkhan -ayah Mu’tamar- : tsiqat ‘abid.
Anaknya, Mu’tamar : tsiqat.
Musaddad bin Musarhad : tsiqat hafizh
Al Bukhari, penulis kitab Ash Shahih, Muhammad bin Isma’il : jabalul huffazh, amirul mukminin fil hadits.
Keempat
Demikian pula hadits ini tidak berstatus syadz.
Kelima
Tidak pula memiliki ‘illat (cacat).
Dengan demikian hadits di atas memenuhi syarat-syarat hadits shahih. Oleh karena itu, Al Bukhari mencantumkannya dalam kitab Shahihnya.
Pengertian Hadits
Ada banyak ulama periwayat hadits, namun yang sering dijadikan referensi hadits-haditsnya ada tujuh ulama, yakni Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Ahmad, Imam Nasa'i, dan Imam Ibnu Majah.
Ada bermacam-macam hadits, seperti yang diuraikan di bawah ini.
·
Hadits
yang dilihat dari banyak sedikitnya perawi
o
Hadits
Mutawatir
o
Hadits
Ahad
§
Hadits
Shahih
§
Hadits
Hasan
§
Hadits
Dha'if
·
Menurut
Macam Periwayatannya
o
Hadits
yang bersambung sanadnya (hadits Marfu' atau Maushul)
o
Hadits
yang terputus sanadnya
§
Hadits
Mu'allaq
§
Hadits
Mursal
§
Hadits
Mudallas
§
Hadits
Munqathi
§
Hadits
Mu'dhol
·
Hadits-hadits
dha'if disebabkan oleh cacat perawi
o
Hadits
Maudhu'
o
Hadits
Matruk
o
Hadits Mungkar
o
Hadits
Mu'allal
o
Hadits
Mudhthorib
o
Hadits
Maqlub
o
Hadits
Munqalib
o
Hadits
Mudraj
o
Hadits
Syadz
·
Beberapa
pengertian dalam ilmu hadits
·
Beberapa
kitab hadits yang masyhur / populer
I. Hadits yang dilihat dari banyak sedikitnya Perawi
I.A. Hadits Mutawatir
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad yang tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Berita itu mengenai hal-hal yang dapat dicapai oleh panca indera. Dan berita itu diterima dari sejumlah orang yang semacam itu juga. Berdasarkan itu, maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar suatu hadits bisa dikatakan sebagai hadits Mutawatir:
1. Isi hadits itu harus hal-hal yang dapat dicapai oleh panca
indera.
2. Orang yang menceritakannya harus sejumlah orang yang menurut ada
kebiasaan, tidak mungkin berdusta. Sifatnya Qath'iy.
3. Pemberita-pemberita itu terdapat pada semua generasi yang sama.
I.B. Hadits Ahad
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tetapi tidak mencapai tingkat mutawatir. Sifatnya atau tingkatannya adalah "zhonniy". Sebelumnya para ulama membagi hadits Ahad menjadi dua macam, yakni hadits Shahih dan hadits Dha'if. Namun Imam At Turmudzy kemudian membagi hadits Ahad ini menjadi tiga macam, yaitu:I.B.1. Hadits Shahih
Menurut Ibnu Sholah, hadits shahih ialah hadits yang bersambung sanadnya. Ia diriwayatkan oleh orang yang adil lagi dhobit (kuat ingatannya) hingga akhirnya tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih) dan tidak mu'allal (tidak cacat). Jadi hadits Shahih itu memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :
1. Kandungan isinya tidak bertentangan
dengan Al-Qur'an.
2. Harus bersambung sanadnya
3. Diriwayatkan oleh orang / perawi yang adil.
4. Diriwayatkan oleh orang yang dhobit (kuat ingatannya)
5. Tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih
shahih)
6. Tidak cacat walaupun tersembunyi.
I.B.2. Hadits Hasan
Ialah hadits yang banyak sumbernya atau jalannya dan dikalangan perawinya tidak ada yang disangka dusta dan tidak syadz.I.B.3. Hadits Dha'if
Ialah hadits yang tidak bersambung sanadnya dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil dan tidak dhobit, syadz dan cacat.II. Menurut Macam Periwayatannya
II.A. Hadits yang bersambung sanadnya
Hadits ini adalah hadits yang bersambung sanadnya hingga Nabi Muhammad SAW. Hadits ini disebut hadits Marfu' atau Maushul.II.B. Hadits yang terputus sanadnya
II.B.1. Hadits Mu'allaq
Hadits ini disebut juga hadits yang tergantung, yaitu hadits yang permulaan sanadnya dibuang oleh seorang atau lebih hingga akhir sanadnya, yang berarti termasuk hadits dha'if.II.B.2. Hadits Mursal
Disebut juga hadits yang dikirim yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para tabi'in dari Nabi Muhammad SAW tanpa menyebutkan sahabat tempat menerima hadits itu.II.B.3. Hadits Mudallas
Disebut juga hadits yang disembunyikan cacatnya. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, baik dalam sanad ataupun pada gurunya. Jadi hadits Mudallas ini ialah hadits yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya.II.B.4. Hadits Munqathi
Disebut juga hadits yang terputus yaitu hadits yang gugur atau hilang seorang atau dua orang perawi selain sahabat dan tabi'in.II.B.5. Hadits Mu'dhol
Disebut juga hadits yang terputus sanadnya yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para tabi'it dan tabi'in dari Nabi Muhammad SAW atau dari Sahabat tanpa menyebutkan tabi'in yang menjadi sanadnya. Kesemuanya itu dinilai dari ciri hadits Shahih tersebut di atas adalah termasuk hadits-hadits dha'if.III. Hadits-hadits dha'if disebabkan oleh cacat perawi
III.A. Hadits Maudhu'
Yang berarti yang dilarang, yaitu hadits dalam sanadnya terdapat perawi yang berdusta atau dituduh dusta. Jadi hadits itu adalah hasil karangannya sendiri bahkan tidak pantas disebut hadits.III.B. Hadits Matruk
Yang berarti hadits yang ditinggalkan, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi saja sedangkan perawi itu dituduh berdusta.III.C. Hadits Mungkar
Yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya / jujur.III.D. Hadits Mu'allal
Artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi. Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani bahwa hadis Mu'allal ialah hadits yang nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa disebut juga dengan hadits Ma'lul (yang dicacati) atau disebut juga hadits Mu'tal (hadits sakit atau cacat).III.E. Hadits Mudhthorib
Artinya hadits yang kacau yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari beberapa sanad dengan matan (isi) kacau atau tidak sama dan kontradiksi dengan yang dikompromikan.III.F. Hadits Maqlub
Artinya hadits yang terbalik yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) maupun matan (isi).III.G. Hadits Munqalib
Yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah.III.H. Hadits Mudraj
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang didalamnya terdapat tambahan yang bukan hadits, baik keterangan tambahan dari perawi sendiri atau lainnya.III.I. Hadits Syadz
Hadits yang jarang yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah (terpercaya) yang bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari perawi-perawi (periwayat / pembawa) yang terpercaya pula. Demikian menurut sebagian ulama Hijaz sehingga hadits syadz jarang dihapal ulama hadits. Sedang yang banyak dihapal ulama hadits disebut juga hadits Mahfudz.IV. Beberapa pengertian (istilah) dalam ilmu hadits
IV.A. Muttafaq 'Alaih
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sumber sahabat yang sama, atau dikenal juga dengan Hadits Bukhari - Muslim.IV.B. As Sab'ah
As Sab'ah berarti tujuh perawi, yaitu:
1. Imam Ahmad
2. Imam Bukhari
3. Imam Muslim
4. Imam Abu Daud
5. Imam Tirmidzi
6. Imam Nasa'i
7. Imam Ibnu Majah
IV.C. As Sittah
Yaitu enam perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Ahmad bin Hanbal.IV.D. Al Khamsah
Yaitu lima perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Bukhari dan Imam Muslim.IV.E. Al Arba'ah
Yaitu empat perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Ahmad, Imam Bukhari dan Imam Muslim.IV.F. Ats tsalatsah
Yaitu tiga perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim dan Ibnu Majah.IV.G. Perawi
Yaitu orang yang meriwayatkan hadits.IV.H. Sanad
Sanad berarti sandaran yaitu jalan matan dari Nabi Muhammad SAW sampai kepada orang yang mengeluarkan (mukhrij) hadits itu atau mudawwin (orang yang menghimpun atau membukukan) hadits. Sanad biasa disebut juga dengan Isnad berarti penyandaran. Pada dasarnya orang atau ulama yang menjadi sanad hadits itu adalah perawi juga.IV.I. Matan
Matan ialah isi hadits baik berupa sabda Nabi Muhammad SAW, maupun berupa perbuatan Nabi Muhammad SAW yang diceritakan oleh sahabat atau berupa taqrirnya.V. Beberapa kitab hadits yang masyhur / populer
1. Shahih Bukhari
2. Shahih Muslim
3. Riyadhus Shalihin
Klasifikasi Hadits berdasarkan pada Kuat Lemahnya Berita
Berdasarkan pada kuat lemahnya hadits tersebut dapat dibagi
menjadi 2 (dua), yaitu hadits maqbul (diterima) dan mardud (tertolak). Hadits
yang diterima terbagi menjadi dua, yaitu hadits yang shahih dan hasan.
Sedangkan yang tertolak disebut juga dengan dhaif.
1. Hadits Yang Diterima (Maqbul)
Hadits yang diterima dibagi menjadi 2 (dua):
1. 1. Hadits Shahih
1. 1. 1. Definisi:
Menurut Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Nukhbatul Fikar, yang
dimaksud dengan hadits shahih adalah adalah:
Hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil,
sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber’illat dan tidak
janggal.
Dalam kitab Muqaddimah At-Thariqah Al-Muhammadiyah
disebutkan bahwa definisi hadits shahih itu adalah:
Hadits yang lafadznya selamat dari keburukan susunan dan
maknanya selamat dari menyalahi ayat Quran.
1. 1. 2. Syarat-Syarat Hadits Shahih:
Untuk bisa dikatakan sebagai hadits shahih, maka sebuah
hadits haruslah memenuhi kriteria berikut ini:
- Rawinya
bersifat adil, artinya seorang rawi selalu memelihara ketaatan dan
menjauhi perbuatan maksiat, menjauhi dosa-dosa kecil, tidak melakukan
perkara mubah yang dapat menggugurkan iman, dan tidak mengikuti pendapat
salah satu mazhab yang bertentangan dengan dasar syara’
- Sempurna
ingatan (dhabith), artinya ingatan seorang rawi harus lebih banyak
daripada lupanya dan kebenarannya harus lebih banyak daripada
kesalahannya, menguasai apa yang diriwayatkan, memahami maksudnya dan
maknanya
- Sanadnya
tiada putus (bersambung-sambung) artinya sanad yang selamat dari keguguran
atau dengan kata lain; tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima
langsung dari yang memberi hadits.
- Hadits
itu tidak ber’illat (penyakit yang samar-samar yang dapat menodai
keshahihan suatu hadits)
- Tidak
janggal, artinya tidak ada pertentangan antara suatu hadits yang
diriwayatkan oleh rawi yang maqbul dengan hadits yang diriwayatkan oleh
rawi yang lebih rajin daripadanya.
1. 2. Hadits Hasan
1.2.1. Definisi
Secara bahasa, Hasan adalah sifat yang bermakna indah.
Sedangkansecara istilah, para ulama mempunyai pendapat tersendiri seperti yang
disebutkan berikut ini:
Al-Hafizh Ibnu Hajar
dalam Nukhbatul Fikar menuliskan tentang definisi hadits Hasan:
Hadits yang dinukilkan oleh orang yang adil, yang kurang
kuat ingatannya, yang muttashil (bersambung-sambung sanadnya), yang musnad
jalan datangnya sampai kepada nabi SAW dan yang tidak cacat dan tidak punya
keganjilan.
At-Tirmizy dalam
Al-Ilal menyebutkan tentang pengertian hadits hasan:
Hadits yang selamat dari syuadzudz dan dari orang yang
tertuduh dusta dan diriwayatkan seperti itu dalam banyak jalan.
Al-Khattabi menyebutkan
tentang pengertian hadits hasan:
Hadits yang orang-orangnya dikenal, terkenal makhrajnya dan
dikenal para perawinya.
Yang dimaksud dengan makhraj adalah dikenal tempat di
mana dia meriwayatkan hadits itu. Seperti Qatadah buat penduduk Bashrah, Abu
Ishaq as-Suba'i dalam kalangan ulama Kufah dan Atha' bagi penduduk kalangan
Makkah.
Jumhur ulama: Hadits yang dinukilkan oleh seorang yang adil
(tapi) tidak begitu kuat ingatannya, bersambung-sambung sanadnya dan tidak
terdapat ‘illat serta kejanggalan matannya.
Maka bisa disimpulkan bahwa hadits hasan adalah hadits
yang pada sanadnya tiada terdapat orang yang tertuduh dusta, tiada terdapat
kejanggalan pada matannya dan hadits itu diriwayatkan tidak dari satu jurusan
(mempunyai banyak jalan) yang sepadan maknanya.
1.2.2. Klasifikasi Hadits Hasan
Hasan Lidzatih
Yaitu hadits hasan yang telah memenuhi syarat-syaratnya.
Atau hadits yang bersambung-sambung sanadnya dengan orang yang adil yang kurang
kuat hafalannya dan tidak terdapat padanya sydzudz dan illat.
Di antara contoh hadits ini adalah:
لولا أن أشق على أمتي لأمرتهم بالسواك
عند كل صلاة
Seandainya aku tidak memberatkan umatku, maka pasti aku
perintahkan untuk menggosok gigi setiap waktu shalat
Hadits Hasan lighairih
Yaitu hadits hasan yang sanadnya tidak sepi dari seorang
mastur (tak nyata keahliannya), bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak tampak
adanya sebab yang menjadikan fasik dan matan haditsnya adalah baik berdasarkan
periwayatan yang semisal dan semakna dari sesuatu segi yang lain.
Ringkasnya, hadits hasan li ghairihi ini asalnya adalah hadits dhaif (lemah), namun karena ada ada mu'adhdhid, maka derajatnya naik sedikit menjadi hasan li ghairihi. Andaikata tidak ada 'Adhid, maka kedudukannya dhaif.
Ringkasnya, hadits hasan li ghairihi ini asalnya adalah hadits dhaif (lemah), namun karena ada ada mu'adhdhid, maka derajatnya naik sedikit menjadi hasan li ghairihi. Andaikata tidak ada 'Adhid, maka kedudukannya dhaif.
Di antara contoh hadits ini adalah hadits tentang Nabi SAW
membolehkan wanita menerima mahar berupa sepasang sandal:
أرضيت من نفسك ومالك بنعلين؟ قالت:
نعم، فأجاز "Apakah kamu rela menyerahkan diri dan hartamu dengan hanya
sepasang sandal ini?" Perempuan itu menjawab, "Ya." Maka nabi
SAW pun membolehkannya.
Hadits ini asalnya dhaif (lemah), karena diriwayatkan oleh
Turmuzy dari 'Ashim bin Ubaidillah dari Abdullah bin Amr. As-Suyuti mengatakan
bahwa 'Ashim ini dhaif lantaran lemah hafalannya. Namun karena ada jalur lain
yang lebih kuat, maka posisi hadits ini menjadi hasan li ghairihi.
Kedudukan Hadits Hasan adalah berdasarkan tinggi rendahnya
ketsiqahan dan keadilan para rawinya, yang paling tinggi kedudukannya ialah
yang bersanad ahsanu’l-asanid.
Hadits Shahih dan Hadits Hasan ini diterima oleh para ulama
untuk menetapkan hukum (Hadits Makbul).
Hadits Hasan Naik Derajat Menjadi Shahih
Bila sebuah hadits hasan li dzatihi diriwayatkan lagi dari
jalan yang lain yang kuat keadaannya, naiklah dia dari derajat hasan li dzatihi
kepada derajat shahih. Karena kekurangan yang terdapat pada sanad pertama,
yaitu kurang kuat hafalan perawinya telah hilang dengan ada sanad yang lain
yang lebih kuat, atau dengan ada beberapa sanad lain.
* * *
2. Hadits Mardud (Tertolak)
Setelah kita bicara hadits maqbul yang di dalamnya adahadits
shahih dan hasan, sekarang kita bicara tentang kelompok yang kedua, yaitu
hadits yang tertolak.
Hadits yang tertolak adalah hadits yang dhaif dan juga
hadits palsu. Sebenarnya hadits palsu bukan termasuk hadits, hanya sebagian
orang yang bodoh dan awam yang memasukkannya ke dalam hadits. Sedangkan hadits
dhaif memang benar sebuah hadits, hanya saja karena satu sebab tertentu, hadis
dhaif menjadi tertolak untuk dijadikan landasan aqidah dan syariah.
2.1 Definisi:
Hadits Dhaif yaitu hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits Shahih atau hadits Hasan.
Hadits Dhaif yaitu hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits Shahih atau hadits Hasan.
Hadits Dhaif merupakan hadits Mardud yaitu hadits yang tidak
diterima oleh para ulama hadits untuk dijadikan dasar hukum.
2.2. Penyebab Tertolak
Ada beberapa alasan yang menyebabkan tertolaknya Hadits
Dhaif, yaitu:
2.2.1 Adanya Kekurangan pada Perawinya
Baik tentang keadilan maupun hafalannya, misalnya karena:
- Dusta
(hadits maudlu)
- Tertuduh
dusta (hadits matruk)
- Fasik,
yaitu banyak salah lengah dalam menghafal
- Banyak
waham (prasangka) disebut hadits mu’allal
- Menyalahi
riwayat orang kepercayaan
- Tidak
diketahui identitasnya (hadits Mubham)
- Penganut
Bid’ah (hadits mardud)
- Tidak
baik hafalannya (hadits syadz dan mukhtalith)
2.2.2. Karena Sanadnya Tidak Bersambung
- Kalau
yang digugurkan sanad pertama disebut hadits mu’allaq
- Kalau
yang digugurkan sanad terakhir (sahabat) disebut hadits mursal
- Kalau
yang digugurkan itu dua orang rawi atau lebih berturut-turut disebut
hadits mu’dlal
- Jika
tidak berturut-turut disebut hadits munqathi’
2. 2. 3. Karena Matan (Isi Teks) Yang Bermasalah
Selain karena dua hal di atas, kedhaifan suatu hadits bisa
juga terjadi karena kelemahan pada matan. Hadits Dhaif yang disebabkan suatu
sifat pada matan ialah hadits Mauquf dan Maqthu’
Oleh karenanya para ulama melarang menyampaikan hadits dhaif
tanpa menjelaskan sanadnya. Adapun kalau dengan sanadnya, mereka tidak
mengingkarinya
2.3. Hukum Mengamalkan Hadits Dhaif
Segenap ulama sepakat bahwa hadits yang lemah sanadnya
(dhaif) untuk masalah aqidah dan hukum halal dan haram adalah terlarang.
Demikian juga dengan hukum jual beli, hukum akad nikah, hukum thalaq dan
lain-lain.
Tetapi mereka berselisih faham tentang mempergunakan hadits
dha'if untuk menerangkan keutamaan amal, yang sering diistilahkan dengan fadhailul
a'mal, yaitu untuk targhib atau memberi semangat menggembirakan
pelakunya atau tarhib (menakutkan pelanggarnya).
Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim menetapkan bahwa bila hadits
dha'if tidak bisa digunakan meski hanya untuk masalah keutamaan amal. Demikian
juga para pengikut Daud Azh-Zhahiri serta Abu Bakar Ibnul Arabi Al-Maliki.
Tidak boleh siapapun dengan tujuan apapun menyandarkan suatu hal kepada
Rasulullah SAW, sementara derajat periwayatannya lemah.
Ketegasan sikap kalangan ini berangkat dari karakter dan
peran mereka sebagai orang-orang yang berkonsentrasi pada keshahihan suatu
hadits. Imam Al-Bukhari dan Muslim memang menjadi maskot masalah keshahihan
suatu riwayat hadits. Kitab shahih karya mereka masing-masing adalah kitab
tershahih kedua dan ketiga di permukaan muka bumi setelah Al-Quran Al-Kariem.
Senjata utama mereka yang paling sering dinampakkan adalah
hadits dari Rasulullah SAW:
Siapa yang menceritakan sesuatu hal dari padaku padahal dia
tahu bahwa hadits itu bukan haditsku, maka orang itu salah seorang pendusta. (HR Bukhari Muslim)
Sedangkan Al-Imam An-Nawawi rahimahulah di dalam
kitab Al-Adzkar mengatakan bahwa para ulama hadits dan para fuqaha membolehkan
kita mempergunakan hadits yang dhaif untuk memberikan targhib atau tarhib dalam
beramal, selama hadits itu belum sampai kepada derajat maudhu' (palsu).
Namun pernyataan beliau ini seringkali dipahami secara salah
kaprah. Banyak yang menyangka bahwa maksud pernyataan Imam An-Nawawi itu
membolehkan kita memakai hadits dhaif untuk menetapkan suatu amal yang hukumnya
sunnah.
Padahal yang benar adalah masalah keutamaan suatu amal
ibadah. Jadi kita tetap tidak boleh menetapkan sebuah ibadah yang bersifat
sunnah hanya dengan menggunakan hadits yang dhaif, melainkan kita boleh menggunakan
hadits dha'if untuk menggambarkan bahwa suatu amal itu berpahala besar.
Sedangkan setiap amal sunnah, tetap harus didasari dengan
hadits yang kuat.
Lagi pula, kalau pun sebuah hadits itu boleh digunakan untuk
memberi semangat dalam beramal, maka ada beberapa syarat yang juga harus
terpenuhi, antara lain:
- Derajat
kelemahan hadits itu tidak terlalu parah. Perawi yang telah dicap sebagai
pendusta, atau tertuduh sebagai pendusta atau yang terlalu sering keliru,
maka haditsnya tidak bisa dipakai. Sebab derajat haditsnya sudah sangat
parah kelemahannya.
- Perbuatan
amal itu masih termasuk di bawah suatu dasar yang umum. Sedangkan sebuah
amal yang tidak punya dasar sama sekali tidak boleh dilakkan hanya
berdasarkan hadits yang lemah.
- Ketika
seseorang mengamalkan sebuah amalan yang disemangati dengan hadits lemah,
tidak boleh diyakini bahwa semangat itu datangnya dari nabi SAW. Agar kita
terhindar dari menyandarkan suatu hal kepada Rasulullah SAW sementara
beliau tidak pernah menyatakan hal itu.
Demikian sekelumit informasi singkat tentang pembagian
hadits, dilihat dari sudut apakah hadits itu bisa diterima ataukah hadits itu
tertolak.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi
wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
PEMBAHASAN
I. Hadits Shahih
I.1 Definisi Hadits
Shahih
kata Shahih ((الصحيخ
dalam bahasa diartikan orang sehat antonim dari kata as-saqim ( (السقيم=
orang yang sakit jadi yang dimaksud hadits shahih adalah hadits yang
sehat dan benar tidak terdapat penyakit dan cacat.
هو ما اتصل سنده بنكل العدل الضابط ضبطا كاملا عن مثله وخلا ممن
الشذوذ و العلة
hadis yang muttasil
(bersambung) sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil dan dhobith(kuat daya
ingatan) sempurna dari sesamanya, selamat dari kejanggalan (syadz), dan cacat
(‘ilat).
Imam Al-Suyuti
mendifinisikan hadis shahih dengan “hadis yang bersambung sanadnya,
dfiriwayatkan oleh perowi yang adil dan dhobit, tidak syadz dan tidak
ber’ilat”.
Defisi hadis shahih
secara konkrit baru muncul setelah Imam Syafi’i memberikan penjelasan tentang
riwayat yang dapat dijadikan hujah, yaitu:
pertama, apabila diriwayatkan oleh para perowi yang
dapat dipercaya pengamalan agamanya, dikenal sebagai orang yang jujur mermahami
hadis yang diriwayatkan dengan baik, mengetahui perubahan arti hadis bila
terjadi perubahan lafadnya; mampu meriwayatkan hadis secara lafad, terpelihara
hafalannya bila meriwayatkan hadis secara lafad, bunyi hadis yang Dia riwayatkan
sama dengan hadis yang diriwayatkan orang lain dan terlepas dari tadlis
(penyembuyian cacat),
kedua, rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada
Nabi SAW. atau dapat juga tidak sampai kepada Nabi.
Imam Bukhori dan Imam
Muslim membuat kriteria hadis shahih sebagai berikut:
1)
Rangkaian perawi dalam sanad itu harus bersambung mulai dari perowi pertama
sampai perowi terakhir.
2)
Para perowinya harus terdiri dari orang-orang yang dikenal siqat, dalam
arti adil dan dhobith,
3)
Hadisnya terhindar dari ‘ilat (cacat) dan syadz (janggal), dan
4)
Para perowi yang terdekat dalam sanad harus sejaman.
I.2 Syarat-Syarat Hadis
Shahih
Berdasarkan definisi
hadis shahih diatas, dapat dipahami bahwa syarat-syarat hadis shahih dapat
dirumuskan sebagai berikut:
a. Sanadnya Bersambung
Maksudnya adalah
tiap-tiap perowi dari perowi lainnya benar-benar mengambil secara langsung dari
orang yang ditanyanya, dari sejak awal hingga akhir sanadnya.
Untuk mengetahui dan
bersambungnya dan tidaknya suatu sanad, biasanya ulama’ hadis menempuh tata
kerja sebagai berikut;
- Mencatat semua periwayat yang diteliti,
- Mempelajari hidup masing-masing periwayat,
- Meneliti kata-kata yang berhubungan antara
para periwayat dengan periwayat yang terdekat
dalam sanad, yakni apakah kata-kata yang terpakai berupa haddasani,
haddasani, akhbarana, akhbarani, ‘an,anna, atau kasta-kata lainnya.
b. Perawinya Bersifat
Adil
Maksudnya adalah
tiap-tiap perowi itu seorang Muslim, bersetatus Mukallaf (baligh), bukan
fasiq dan tidak pula jelek prilakunya.
Dalam menilai keadilan
seorang periwayat cukup dilakuakan dengan salah satu teknik berikut:
- keterangan seseorang atau beberapa ulama
ahli ta’dil bahwa seorang itu bersifat adil, sebagaimana yang
disebutkan dalam kitab-kitab jarh wa at-ta’dil.
- ketenaran seseorang bahwa ia bersifast adil,
sdeperti imam empat Hanafi,Maliki, Asy-Syafi’i, dan Hambali.
khusus mengenai perawi
hadis pada tingkat sahabat, jumhur ulama sepakat bahwa seluruh sahabat adalah
adil. Pandangan berbeda datang dari golongan muktazilah yang menilai bahwa
sahabat yang terlibat dalam pembunuhan ‘Ali dianggap fasiq, dan
periwayatannya pun ditolak.
c. Perowinya Bersifat Dhobith
Maksudnya masing-masing
perowinya sempurna daya ingatannya, baik berupa kuat ingatan dalam dada maupun
dalam kitab (tulisan).
Dhobith dalam dada ialah
terpelihara periwayatan dalam ingatan, sejak ia maneriama hadis sampai
meriwayatkannya kepada orang lain, sedang, dhobith dalam kitab ialah
terpeliharanya kebenaran suatu periwayatan melalui tulisan.
Adapun sifat-sifat
kedhobitan perowi, nmenurut para ulama, dapat diketahui melalui:
- kesaksian para ulama
- berdasarkan kesesuaian riwayatannya dengan
riwayat dari orang lain yang telah dikenal kedhobithannya.
d. Tidak Syadz
Maksudnya ialah hadis itu
benar-benar tidak syadz, dalam arti bertentangan atau menyalesihi orang
yang terpercaya dan lainnya.
Menurut al-Syafi’i, suatu
hadis tidak dinyastakan sebagai mengandung syudzudz, bila hadis itu
hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat yang tsiqah, sedang periwayat
yang tsiqah lainnya tidak meriwayatkan hadis itu. Artinya, suatu hadis
dinyatakan syudzudz, bila hadisd yang diriwayatkan oleh seorang
periwayat yang tsiqah tersebut bertentengan dengan hadis yang
dirirwayatkan oleh banyak periwayat yang juga bersifat tsiqah.
e. Tidak Ber’ilat
Maksudnya ialah hadis itu
tidak ada cacatnya, dalam arti adanya sebab yang menutup tersembunyi yang dapat
menciderai pada ke-shahih-an hadis, sementara dhahirnya selamat dari
cacat.
‘Illat hadis dapat terjadi pada sanad mapun pada matan
atau pada keduanya secara bersama-sama. Namun demikian, ‘illat yang
paling banyak terjadi adalah pada sanad, seperti menyebutkan muttasil
terhadap hadis yang munqati’ atau mursal.
I.3. Pembagian Hadis
Shahih
Para ahli hadis membagi
hadis shahih kepada dua bagian, yaitu shahih li-dzati dan shahih li-ghoirih.
perbedaan antara keduanya terletak pada segi hafalan atau ingatan perowinya.
pada shahih li-dzatih, ingatan perowinya sempurna, sedang pada hadis
shahih li-ghoirih, ingatan perowinya kurang sempurna.
a.Hadis Shahih li
dzati
Maksudnya ialah
syarat-syarat lima tersebut benar-benar telah terbukti adanya,bukan dia itu
terputus tetapi shahih dalam hakikat masalahnya, karena bolehnya salah dan
khilaf bagi orang kepercayaan.
b. Hadis Shahih Li
Ghoirihi
Maksudnya ialah hadis
tersebut tidak terbukti adanya lima syarat hadis shahih tersebut baik
keseluruhan atau sebagian. Bukan berarti sama sekali dusta, mengingat bolehnya
berlaku bagi orang yang banyak salah.
Hadis shahih
li-ghoirih, adalah hadis hasan li-dzatihi apabila diriwayatkan
melamui jalan yang lain oleh perowi yang sama kualitasnya atau yang lebih kuat
dari padanya.
I.4 Kehujahan Hadis
Shahih
Hadis yang telah memenuhi
persyaratan hadis shahih wajib diamalkan sebagai hujah atau dalil syara’ sesuai
ijma’ para uluma hadis dan sebagian ulama ushul dan fikih. Kesepakatan ini
terjadi dalam soal-soal yang berkaitan dengan penetapan halal atau haramnya
sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan aqidah.
Sebagian besar ulama
menetapkan dengan dalil-dalil qat’i, yaitu al-Quran dan hadis mutawatir.
oleh karena itu, hadis ahad tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan
persoalan-persoalan yang berhubungan dengan aqidah.
I.5 Tingkatan Hadis
Shahih
Perlu diketahui bahwa
martabat hadis shahih itu tergantung tinggi dan rendahnya kepada ke-dhabit-an
dan keadilan para perowinya. Berdasarkan martabat seperti ini, para muhadisin
membagi tingkatan sanad menjadi tiga yaitu:
Pertama, ashah
al-asanid yaitu rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya. seperti
periwayatan sanad dari Imam Malik bin Anas dari Nafi’ mawla (mawla = budak yang
telah dimerdekakan) dari Ibnu Umar.
Kedua, ahsan al-asanid,
yaitu rangkaian sanad hadis yang yang tingkatannya dibawash tingkat pertama
diatas. Seperti periwayatan sanad dari Hammad bin Salamah dari Tsabit dari
Anas.
Ketiga. ad’af
al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadis yang tingkatannya lebih rendah dari
tingkatan kedua. seperti periwayatan Suhail bin Abu Shalih dari ayahnya dari
Abu Hurairah.
Dari segi persyaratan
shahih yang terpenuhi dapat dibagi menjadi tujuh tingkatan, yang secara
berurutan sebagai berikut:
a)
Hadis yang disepakati oleh bukhari dan muslim (muttafaq ‘alaih),
b)
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori saja,
c)
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim saja,
d)
Hadis yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan AL-Bukhari dan Muslim,
e)
Hadis yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Al-Bukhari saja,
f)
Hadis yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Muslim saja,
g)
Hadis yang dinilai shahih menurut ilama hadis selain Al-Bukhari dan Muslim dan
tidak mengikuti persyratan keduanya, seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan
lain-lain.
Kitab-kitab hadis yang
menghimpun hadis shahih secara berurutan sebagai berikut:
1.
Shahih Al-Bukhari (w.250 H).
2.
Shahih Muslim (w. 261 H).
3.
Shahih Ibnu Khuzaimah (w. 311 H).
4.
Shahih Ibnu Hiban (w. 354 H).
5.
Mustadrok Al-hakim (w. 405).
6.
Shahih Ibn As-Sakan.
7.
Shahih Al-Abani.
II. HADIS HASAN
II.1 Pengertian Hadis
Hasan
Secara bahasa, hasan
berarti al-jamal, yaitu indah. Hasan juga dapat juga berarti sesuatu
sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu. Sedangkan para ulama berbeda
pendapat dalam mendefinisikan hadis hasan karena melihat bahwa ia meupakan
pertengahan antara hadis shahih dan hadis dha’if, dan juga karena
sebagian ulama mendefinisikan sebagai salah satu bagiannya. Sebagian dari
definisinya yaitu:
- definisi al- Chatabi: adalah hadis yang
diketahui tempat keluarnya, dan telah mashur rawi-rawi sanadnya, dan
kepadanya tempat berputar kebanyakan hadis, dan yang diterima kebanyakan
ulama, dan yang dipakai oleh umumnya fukoha’
- definisi Tirmidzi: yaitu semua hadis yang
diriwayatkan, dimana dalam sanadnya tidak ada yang dituduh berdusta, serta
tidak ada syadz
(kejangalan), dan diriwatkan dari selain jalan sepereti demikian, maka dia
menurut kami adalah hadis hasan.
- definisi Ibnu Hajar: beliau berkata, adalah hadis
ahad yang diriwayatkan oleh yang adil, sempurna ke-dhabit-annya,
bersanbung sanadnya, tidak cacat, dan tidak syadz (janggal) maka
dia adalah hadis shahih li-dzatihi, lalu jika ringan ke-dhabit-annya
maka dia adalah hadis hasan li dszatihi.
Kriteria hadis hasan sama
dengan kriteria hadis shahih. Perbedaannya hanya terletak pada sisi ke-dhabit-annya.
yaitu hadis shahih lebih sempurna ke-dhabit-annya dibandingkan dengan
hadis hasan. Tetapi jika dibandingkan dengan ke-dhabit-an perawi
hadis dha’if tentu belum seimbang, ke-dhabit-an perawi hadis hasan
lebih unggul.
II.2 Macam-Macam Hadis
Hasan
Sebagaimana hadis shahih
yang terbagi menjadi dua macam, hadis hasasn pun terbagi menjadi dua macam,
yaitu hasan li-dzatih dan hasan li-ghairih;
a. Hasan Li-Dzatih
Hadis hasan li-dzatih
adalah hadis yang telah memenuhi persyaratan hadis hasan yang telah ditentukan.
pengertian hadis hasan li-dzatih sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.
b. Hasan Li-Ghairih
Hadis hasan yang tidak
memenuhi persyaratan secara sempurna. dengan kata lain, hadis tersebut pada
dasarnya adalah hadis dha’if, akan tetapi karena adanya sanad atau matan
lain yang menguatkannya (syahid atau muttabi’), maka kedudukan
hadis dha’if tersebut naik derajatnya menjadi hadis hasan li-ghairih.
II.3 Kehujahan Hadis
Hasan
Hadis hasan sebagai mana
halnya hadis shahih, meskipun derajatnya dibawah hadis shahih, adalah hadis
yang dapat diterima dan dipergunakan sebagai dalil atau hujjah dalam menetapkan
suatu hukum atau dalam beramal. Paraulama hadis, ulama ushul fiqih, dan fuqaha
sepakat tentang kehujjahan hadis hasan.
III. HADIST DHAIF
III.1 Definisi Hadist
Dhaif
Pengertian hadits dhaif
Secara bahasa, hadits dhaif berarti hadits yang lemah. Para ulama memiliki
dugaan kecil bahwa hadits tersebut berasal dari Rasulullah SAW. Dugaan kuat
mereka hadits tersebut tidak berasal dari Rasulullah SAW. Adapun para ulama
memberikan batasan bagi hadits dhaif sebagai berikut : “ Hadits dhaif ialah
hadits yang tidak memuat / menghimpun sifat-sifat hadits shahih, dan tidak pula
menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.
III.2 Macam-macam hadits
dhaif
Hadist dhaif dapat dibagi
menjadi dua kelompok besar, yaitu : hadits dhaif karena gugurnya rawi dalam
sanadnya, dan hadits dhaif karena adanya cacat pada rawi atau matan.
a. Hadits dhaif karena
gugurnya rawi
Yang dimaksud dengan
gugurnya rawi adalah tidak adanya satu atau beberapa rawi, yang seharusnya ada
dalam suatu sanad, baik pada permulaan sanad, maupun pada pertengahan atau
akhirnya. Ada beberapa nama bagi hadits dhaif yang disebabkan karena gugurnya
rawi, antara lain yaitu :
1)
Hadits Mursal
Hadits mursal menurut
bahasa, berarti hadits yang terlepas. Para ulama memberikan batasan bahwa
hadits mursal adalah hadits yang gugur rawinya di akhir sanad. Yang dimaksud
dengan rawi di akhir sanad ialah rawi pada tingkatan sahabat yang merupakan
orang pertama yang meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW. (penentuan awal dan
akhir sanad adalah dengan melihat dari rawi yang terdekat dengan imam yang
membukukan hadits, seperti Bukhari, sampai kepada rawi yang terdekat dengan
Rasulullah). Jadi, hadits mursal adalah hadits yang dalam sanadnya tidak
menyebutkan sahabat Nabi, sebagai rawi yang seharusnya menerima langsung dari
Rasulullah.
Contoh hadits mursal :
Artinya :
Rasulullah bersabda, “
Antara kita dan kaum munafik munafik (ada batas), yaitu menghadiri jama’ah isya
dan subuh; mereka tidak sanggup menghadirinya”.
Hadits tersebut
diriwayatkan oleh Imam Malik, dari Abdurrahman, dari Harmalah, dan selanjutnya
dari Sa’id bin Mustayyab. Siapa sahabat Nabi yang meriwayatkan hadits itu
kepada Sa’id bin Mustayyab, tidaklah disebutkan dalam sanad hadits di atas.
Kebanyakan Ulama
memandang hadits mursal ini sebagai hadits dhaif, karena itu tidak bisa
diterima sebagai hujjah atau landasan dalam beramal. Namun, sebagian kecil
ulama termasuk Abu Hanifah, Malik bin Anas, dan Ahmad bin Hanbal, dapat
menerima hadits mursal menjadi hujjah asalkan para rawi bersifat adil.
2)
Hadits Munqathi’
Hadits munqathi’ menurut
etimologi ialah hadits yang terputus. Para ulama memberi batasan bahwa hadits
munqathi’ adalah hadits yang gugur satu atau dua orang rawi tanpa beriringan
menjelang akhir sanadnya. Bila rawi di akhir sanad adalah sahabat Nabi, maka
rawi menjelang akhir sanad adalah tabi’in. Jadi, pada hadits munqathi’ bukanlah
rawi di tingkat sahabat yang gugur, tetapi minimal gugur seorang tabi’in. Bila
dua rawi yang gugur, maka kedua rawi tersebut tidak beriringan, dan salah satu
dari dua rawi yang gugur itu adalah tabi’in.
contoh hadits munqathi’ :
Artinya :
Rasulullah SAW. bila
masuk ke dalam mesjid, membaca “dengan nama Allah, dan sejahtera atas
Rasulullah; Ya Allah, ampunilah dosaku dan bukakanlah bagiku segala pintu
rahmatMu”.
Hadits di atas
diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dari Abu Bakar bin Ali Syaibah, dari Ismail bin
Ibrahim, dari Laits, dari Abdullah bin Hasan, dari Fatimah binti Al-Husain, dan
selanjutnya dari Fathimah Az-Zahra. Menurut Ibnu Majah, hadits di atas adalah
hadits munqathi’, karena Fathimah Az-Zahra (putri Rasul) tidak berjumpa dengan
Fathimah binti Al-Husain. Jadi ada rawi yang gugur (tidak disebutkan) pada
tingkatan tabi’in.
3)
Hadits Mu’dhal
Menurut bahasa, hadits
mu’dhal adalah hadits yang sulit dipahami. Batasan yang diberikan para ulama
bahwa hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur dua orang rawinya, atau lebih,
secara beriringan dalam sanadnya.
Contohnya adalah hadits
Imam Malik mengenai hak hamba, dalam kitabnya “Al-Muwatha” yang berbunyi : Imam
Malik berkata : Telah sampai kepadaku, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW
bersabda :
Artinya :
Budak itu harus diberi
makanan dan pakaian dengan baik.
Di dalam kitab Imam Malik
tersebut, tidak memaparkan dua orang rawi yang beriringan antara dia dengan Abu
Hurairah. Kedua rawi yang gugur itu dapat diketahui melalui riwayat Imam Malik
di luar kitab Al-Muwatha. Imam Malik meriwayatkan hadits yang sama : Dari
Muhammad bin Ajlan , dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah. Dua rawi
yang gugur adalah Muhammad bin Ajlan dan ayahnya.
4)
Hadits mu’allaq
Menurut bahasa, hadits
mu’allaq berarti hadits yang tergantung. Batasan para ulama tentang hadits ini
ialah hadits yang gugur satu rawi atau lebih di awal sanad atau bisa juga bila
semua rawinya digugurkan ( tidak disebutkan ).
Contoh :
Contoh :
Bukhari berkata : Kata Malik,
dari Zuhri, dan Abu Salamah dari Abu Huraira, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
Artinya :
Janganlah kamu melebihkan
sebagian nabi dengan sebagian yang lain.
Berdasarkan riwayat
Bukhari, ia sebenarnya tidak pernah bertemu dengan Malik. Dengan demikian, Bukhari
telah menggugurkan satu rawi di awal sanad tersebut. Pada umumnya, yang
termasuk dalam kategori hadits mu’allaq tingkatannya adalah dhaif, kecuali 1341
buah hadits muallaq yang terdapat dalam kitab Shahih Bukhari. 1341 hadits
tersebut tetap dipandang shahih, karena Bukhari bukanlah seorang mudallis (
yang menyembunyikan cacat hadits ). Dan sebagian besar dari hadits mu’allaqnya
itu disebutkan seluruh rawinya secara lengkap pada tempat lain dalam kiab itu
juga.
b. Hadits dhaif karena
cacat pada matan atau rawi
Banyak macam cacat yang
dapat menimpa rawi ataupun matan. Seperti pendusta, fasiq, tidak dikenal, dan
berbuat bid’ah yang masing-masing dapat menghilangkan sifat adil pada rawi.
Sering keliru, banyak waham, hafalan yang buruk, atau lalai dalam mengusahakan
hafalannya, dan menyalahi rawi-rawi yang dipercaya. Ini dapat menghilangkan
sifat dhabith pada perawi. Adapun cacat pada matan, misalkan terdapat sisipan
di tengah-tengah lafadz hadits atau diputarbalikkan sehingga memberi pengertian
yang berbeda dari maksud lafadz yang sebenarnya.
Contoh-contoh hadits dhaif karena
cacat pada matan atau rawi :
1)
Hadits Maudhu’
Menurut bahasa, hadits
ini memiliki pengertian hadits palsu atau dibuat-buat. Para ulama memberikan
batasan bahwa hadis maudhu’ ialah hadits yang bukan berasal dari Rasulullah
SAW. Akan tetapi disandarkan kepada dirinya. Golongan-golongan pembuat hadits
palsu yakni musuh-musuh Islam dan tersebar pada abad-abad permulaan sejarah
umat Islam, yakni kaum yahudi dan nashrani, orang-orang munafik, zindiq, atau
sangat fanatic terhadap golongan politiknya, mazhabnya, atau kebangsaannya .
Hadits maudhu’ merupakan
seburuk-buruk hadits dhaif. Peringatan Rasulullah SAW terhadap orang yang
berdusta dengan hadits dhaif serta menjadikan Rasul SAW sebagai sandarannya.
“Barangsiapa yang sengaja
berdusta terhadap diriku, maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya dalam
neraka”.
Berikut dipaparkan
beberapa contoh hadits maudhu’:
a)
Hadits yang dikarang oleh Abdur Rahman bin Zaid bin Aslam; ia katakana bahwa
hadits itu diterima dari ayahnya, dari kakeknya, dan selanjutnya dari
Rasulullah SAW. berbunyi : “Sesungguhnya bahtera Nuh bertawaf mengelilingi
ka’bah, tujuh kali dan shalat di maqam Ibrahim dua rakaat” Makna hadits
tersebut tidak masuk akal.
b)
adapun hadits lainnya : “anak zina itu tidak masuk surga tujuh turunan”.
Hadits tersebut bertentangan dengan Al-Qur’an. ” Pemikul dosa itu tidaklah
memikul dosa yang lain”. ( Al-An’am : 164 )
c)
“Siapa yang memperoleh anak dan dinamakannya Muhammad, maka ia dan anaknya itu
masuk surga”. “orang yang dapat dipercaya itu hanya tiga, yaitu: aku ( Muhammad
), Jibril, dan Muawiyah”.
Demikianlah sedikit
uraian mengenai hadits maudhu’. Masih banyak hadits-hadits lainnya yang sengaja
dibuat oleh pihak kufar. Sedikit sejarah, berdasarkan pengakuan dari mereka
yang memalsukan, seperti Maisarah bin Abdi Rabbin Al-Farisi, misalnya, ia
mengaku telah membuat beberapa hadits tentang keutamaan Al-Qur’an dan 70 buah
hadits tentang keutamaan Ali bin Abi Thalib. Abdul Karim, seorang zindiq,
sebelum dihukum pancung ia telah memalsukan hadits dan mengatakan : “aku telah
membuat 3000 hadits; aku halalkan barang yang haram dan aku haramkan barang
yang halal”.
2)
Hadits matruk atau hadits mathruh
Hadits ini, menurut
bahasa berarti hadits yang ditinggalkan / dibuang. Para ulama memberikan
batasan bahwa hadits matruk adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang
yang pernah dituduh berdusta ( baik berkenaan dengan hadits ataupun mengenai
urusan lain ), atau pernah melakukan maksiat, lalai, atau banyak wahamnya.
Contoh hadits matruk : “Rasulullah Saw bersabda, sekiranya tidak ada wanita, tentu Allah dita’ati dengan sungguh-sungguh”.
Contoh hadits matruk : “Rasulullah Saw bersabda, sekiranya tidak ada wanita, tentu Allah dita’ati dengan sungguh-sungguh”.
Hadits tersebut
diriwayatkan oleh Ya’qub bin Sufyan bin ‘Ashim dengan sanad yang terdiri dari
serentetan rawi-rawi, seperti : Muhammad bin ‘Imran, ‘Isa bin Ziyad, ‘Abdur
Rahim bin Zaid dan ayahnya, Said bin mutstayyab, dan Umar bin Khaththab.
Diantara nama-nama dalam sanad tersebut, ternyata Abdur Rahim dan ayahnya
pernah tertuduh berdusta. Oleh karena itu, hadits tersebut ditinggalkan /
dibuang.
3)
Hadits Munkar
Hadist munkar, secara
bahasa berarti hadits yang diingkari atau tidak dikenal. Batasan yang diberikan
para ‘ulama bahwa hadits munkar ialah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang
lemah dan menyalahi perawi yang kuat, contoh :
Artinya: “Barangsiapa
yang mendirikan shalat, membayarkan zakat, mengerjakan haji, dan menghormati
tamu, niscaya masuk surga. ( H.R Riwayat Abu Hatim )”
Hadits di atas memiliki
rawi-rawi yang lemah dan matannya pun berlainan dengan matan-matan hadits yang
lebih kuat.
4)
Hadits Mu’allal
Menurut bahasa, hadits
mu’allal berarti hadits yang terkena illat . Para ulama memberi batasan bahwa
hadits ini adalah hadits yang mengandung sebab-sebab tersembunyi , dan illat
yang menjatuhkan itu bisa terdapat pada sanad, matan, ataupun keduanya. Contoh
:
Rasulullah bersabda,
“penjual dan pembeli boleh berkhiyar, selama mereka belum berpisah”.
Hadits di atas
diriwayatkan oleh Ya’la bin Ubaid dengan bersanad pada Sufyan Ats-Tsauri, dari
‘Amru bin Dinar, dan selanjutnya dari Ibnu umar. Matan hadits ini sebenarnya
shahih, namun setelah diteliti dengan seksama, sanadnya memiliki illat. Yang
seharusnya dari Abdullah bin Dinar menjadi ‘Amru bin Dinar.
5)
Hadits mudraj
Hadist ini memiliki
pengertian hadits yang dimasuki sisipan, yang sebenarnya bukan bagian dari
hadits itu. Contoh :
Rasulullah bersabda :
“Saya adalah za’im ( dan za’im itu adah penanggung jawab ) bagi orang yang
beriman kepadaku, dan berhijrah; dengan tempat tinggal di taman surga”.
Kalimat akhir dari hadits
tersebut adalah sisipan ( dengan tempat tinggal di taman surga ), karena tidak
termasuk sabda Rasulullah SAW.
6)
Hadits Maqlub
Menurut bahasa, berarti
hadits yang diputarbalikkan. Para ulama menerangkan bahwa terjadi
pemutarbalikkan pada matannya atau pada nama rawi dalam sanadnya atau penukaran
suatu sanad untuk matan yang lain.
Contoh :
Rasulullah SAW bersabda :
Apabila aku menyuruh kamu mengerjakan sesuatu, maka kerjakanlah dia; apabila
aku melarang kamu dari sesuatu, maka jauhilah ia sesuai kesanggupan kamu.
(Riwayat Ath-Tabrani)
Berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, semestinya hadits tersebut berbunyi :
Rasulullah SAW bersabda : “Apa yang aku larag kamu darinya, maka jauhilah ia,
dan apa yang aku suruh kamu mengerjakannya, maka kerjakanlah ia sesuai dengan
kesanggupan kamu”.
7) Hadits Syadz
Secara bahasa, hadits ini
berarti hadits ayng ganjil. Batasan yang diberikan para ulama, hadits syadz
adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang dipercaya, tapi hadits itu
berlainan dengan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang juga
dipercaya. Haditsnya mengandung keganjilan dibandingkan dengan hadits-hadits
lain yang kuat. Keganjilan itu bisa pada sanad, pada matan, ataupun keduanya.
Contoh :
Contoh :
“Rasulullah bersabda :
“Hari arafah dan hari-hari tasyriq adalah hari-hari makan dan minum.”
Hadits di atas
diriwayatkan oleh Musa bin Ali bin Rabah dengan sanad yang terdiri dari
serentetan rawi-rawi yang dipercaya, namun matan hadits tersebut ternyata
ganjil, jika dibandingkan dengan hadits-hadits lain yang diriwayatkan oleh
rawi-rawi yang juga dipercaya. Pada hadits-hadits lain tidak dijumpai ungkapan
. Keganjilan hadits di atas terletak pada adanya ungkapan tersebut, dan
merupakan salah satu contoh hadits syadz pada matannya. Lawan dari hadits ini
adalah hadits mahfuzh.
III.3 Kehujahan Hadits dhaif
Khusus hadits dhaif, maka
para ulama hadits kelas berat semacam Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-Asqalani
menyebutkan bahwa hadits dhaif boleh digunakan, dengan beberapa syarat:
- Level Kedhaifannya Tidak Parah
Ternyata yang namanya
hadits dhaif itu sangat banyak jenisnya dan banyak jenjangnya. Dari yang paling
parah sampai yang mendekati shahih atau hasan.
Maka menurut para ulama, masih ada
di antara hadits dhaif yang bisa dijadikan hujjah, asalkan bukan dalam perkara
aqidah dan syariah (hukum halal haram). Hadits yang level kedhaifannya tidak
terlalu parah, boleh digunakan untuk perkara fadahilul a’mal (keutamaan amal).
- Berada di bawah Nash Lain yang Shahih
Maksudnya hadits yang
dhaif itu kalau mau dijadikan sebagai dasar dalam fadhailul a’mal, harus
didampingi dengan hadits lainnya. Bahkan hadits lainnya itu harus shahih. Maka
tidak boleh hadits dha’if jadi pokok, tetapi dia harus berada di bawah nash
yang sudah shahih.
- Ketika Mengamalkannya, Tidak Boleh Meyakini
Ke-Tsabit-annya
Maksudnya, ketika kita
mengamalkan hadits dhaif itu, kita tidak boleh meyakini 100% bahwa ini
merupakan sabda Rasululah SAW atau perbuatan beliau. Tetapi yang kita lakukan
adalah bahwa kita masih menduga atas kepastian datangnya informasi ini dari
Rasulullah SAW.
- Sikap Ulama Terhadap Hadits Dhaif :
Sebenarnya kalau kita mau
jujur dan objektif, sikap ulama terhadap hadits dhaif itu sangat beragam.
Setidaknya kami mencatat ada tiga kelompok besar dengan pandangan dan hujjah
mereka masing-masing. Dan menariknya, mereka itu bukan orang sembarangan.
Semuanya adalah orang-orang besar dalam bidang ilmu hadits serta para
spesialis.
Maka posisi kita bukan
untuk menyalahkan atau menghina salah satu kelompok itu. Sebab dibandingkan
dengan mereka, kita ini bukan apa-apanya dalam konstalasi para ulama hadits.
1)
Kalangan Yang Menolak Mentah-mentah Hadits Dhaif
Namun harus kita akui
bahwa di sebagian kalangan, ada juga pihak-pihak yang ngotot tetap tidak mau
terima kalau hadits dhaif itu masih bisa ditolelir.
Bagi mereka hadits dhaif itu sama sekali tidak akan dipakai untuk apa pun juga. Baik masalah keutamaan (fadhilah), kisah-kisah, nasehat atau peringatan. Apalagi kalau sampai masalah hukum dan aqidah. Pendeknya, tidak ada tempat buat hadits dhaif di hati mereka.
Bagi mereka hadits dhaif itu sama sekali tidak akan dipakai untuk apa pun juga. Baik masalah keutamaan (fadhilah), kisah-kisah, nasehat atau peringatan. Apalagi kalau sampai masalah hukum dan aqidah. Pendeknya, tidak ada tempat buat hadits dhaif di hati mereka.
Di antara mereka terdapat
nama Al-Imam Al-Bukhari, Al-Imam Muslim, Abu Bakar Al-Arabi, Yahya bin Mu’in,
Ibnu Hazm dan lainnya. Di zaman sekarang ini, ada tokoh seperti Al-Albani dan
para pengikutnya.
2)
Kalangan Yang Menerima Semua Hadits Dhaif
Jangan salah, ternyata
ada juga kalangan ulama yang tetap menerima semua hadits dhaif. Mereka adalah
kalangan yang boleh dibilang mau menerima secara bulat setiap hadits dhaif,
asal bukan hadits palsu (maudhu’). Bagi mereka, sedhai’f-dha’if-nya suatu
hadits, tetap saja lebih tinggi derajatnya dari akal manusia dan logika.
Di antara para ulama yang
sering disebut-sebut termasuk dalam kelompok ini antara lain Al-Imam Ahmad bin
Hanbal, pendiri mazhab Hanbali. Mazhab ini banyak dianut saat ini antara lain
di Saudi Arabia. Selain itu juga ada nama Al-Imam Abu Daud, Ibnul Mahdi, Ibnul
Mubarok dan yang lainnya.
Al-Imam As-Suyuthi
mengatakan bawa mereka berkata, ‘Bila kami meriwayatkan hadits masalah halal
dan haram, kami ketatkan. Tapi bila meriwayatkan masalah fadhilah dan
sejenisnya, kami longgarkan.”
3)
Kalangan Menengah
Mereka adalah kalangan
yang masih mau menerima sebagian dari hadits yang terbilang dhaif dengan
syarat-syarat tertentu. Mereka adalah kebanyakan ulama, para imam mazhab yang
empat serta para ulama salaf dan khalaf.
Syarat-syarat yang mereka
ajukan untuk menerima hadits dhaif antara lain, sebagaimana diwakili oleh
Al-Hafidz Ibnu Hajar dan juga Al-Imam An-Nawawi rahimahumalah, adalah:
• Hadits dhaif itu tidak
terlalu parah kedhaifanya. Sedangkan hadits dha’if yang perawinya sampai ke
tingkat pendusta, atau tertuduh sebagai pendusta, atau parah kerancuan
hafalannya tetap tidak bisa diterima.
• Hadits itu punya asal
yang menaungi di bawahnya
• Hadits itu hanya
seputar masalah nasehat, kisah-kisah, atau anjuran amal tambahan. Bukan dalam
masalah aqidah dan sifat Allah, juga bukan masalah hukum.
• Ketika mengamalkannya
jangan disertai keyakinan atas tsubut-nya hadits itu, melainkan hanya sekedar
berhati-hati.
Semua keterangan di atas,
jelas bukan pendapat kami. Semua itu adalah pendapat para ulama pakar ilmu
hadits. Kami ini bukan berada dalam posisi untuk mengkritisi salah satunya.
Sebab beda maqam dan beda posisi.
BAB III
KESIMPULAN
Pada materi hadits dhaif
ini, dapat kita petik kesimpulan bahwa kajian ke-islaman itu sangatlah luas.
Menunjukkan betapa maha kuasanya Allah dalam memberikan kepahaman terhadap
hamba-hambanya.
وَاللّهُ غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَـكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ
يَعْلَمُونَ
“Dan Allah berkuasa terhadap
urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.” (QS. Yûsuf [12]:
21)
Meskipun ada sebagian
kaum muslimin mengingkari Qur’an dan Hadits ( terlebih hadits dhaif ), maka
itulah yang perlu kita luruskan bersama. Karena sesungguhnya Allah SWT.
berfirman :
“(Dan) kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka. Sesung- guhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.”(QS Yunus 36).
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran dan nesehat-menasehati supaya menetapi kebenaran”.(TQS Al-‘Ashr [103] : 1-3)
Terbaginya hadits dhaif
dalam dua bagian; karena gugurnya rawi dan atau karena cacat pada rawi atau
matan semakin memudahkan kita untuk mengetahui sebab-sebab mengapa
hadits-hadits menjadi dhaif, baik dari segi rawinya ( orang yang meriwayatkan
), sanad, maupun matannya.
Setiap Muslim
diperintahkan untuk memiliki kepribadian Islam (syakhshiyah islâmiyah).
Kepribadian Islam itu mencakup cara berpikir islami (’aqliyyah islâmiyyah) dan
pola sikap islami (nafsiyyah islâmiyah). Dengan ‘aqliyyah islâmiyyah seseorang
dapat mengeluarkan keputusan hukum tentang benda, perbuatan, dan peristiwa
sesuai dengan hukum-hukum syariah. Dia dapat mengetahui mana yang halal dan
mana yang haram serta mana yang terpuji dan mana yang tercela berdasarkan
syariah Islam. Melalui ‘aqliyyah islâmiyyah seorang Muslim juga akan memiliki
kesadaran dan pemikiran yang matang, mampu menyatakan ungkapan yang kuat dan
tepat, serta mampu menganalisis berbagai peristiwa dengan benar. Namun,
‘aqliyyah islâmiyyah saja tidak cukup. Banyak ilmu saja tidak cukup. Tidak
jarang, orang pintar bicara, pandai berdebat tentang dalil, tetapi apa yang
diomongkan berbeda dengan apa yang dilakukan.
Karena itu, kepribadian
Islam tidak cukup dengan ‘aqliyyah islâmiyyah melainkan harus dipadukan dengan
nafsiyyah .
Dengan mengetahui Ilmu
Hadits ( di sini lebih dikhususkan hadits dhaif ), tentu akan membuat aqliyah
kita menjadi semakin terpacu untuk berpikir dan menggali pengetahuan secara
lebih mendalam serta dilandasi nafsiyah ( sikap ) keimanan dan ketakwaan yang
mantap, termotivasi untuk terus mencari dan mengamalkannya karena pembahasan
dalam makalah ini hanyalah berisi sebagian kecilnya saja.
Pengertian Hadits Hasan
a. Secara bahasa
(etimologi)
Kata Hasan (حسن) merupakan Shifah Musyabbahah dari kata al-Husn (اْلحُسْنُ) yang bermakna al-Jamâl (الجمال): kecantikan, keindahan.
b. Secara Istilah (teriminologi)
Sedangkan secara istilah, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama hadits mengingat pretensinya berada di tengah-tengah antara Shahîh dan Dla’îf. Juga, dikarenakan sebagian mereka ada yang hanya mendefinisikan salah satu dari dua bagiannya saja.
Berikut beberapa definisi para ulama hadits dan definisi terpilih:
1. Definisi al-Khaththâby : yaitu, “setiap hadits yang diketahui jalur keluarnya, dikenal para periwayatnya, ia merupakan rotasi kebanyakan hadits dan dipakai oleh kebanyakan para ulama dan mayoritas ulama
Kata Hasan (حسن) merupakan Shifah Musyabbahah dari kata al-Husn (اْلحُسْنُ) yang bermakna al-Jamâl (الجمال): kecantikan, keindahan.
b. Secara Istilah (teriminologi)
Sedangkan secara istilah, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama hadits mengingat pretensinya berada di tengah-tengah antara Shahîh dan Dla’îf. Juga, dikarenakan sebagian mereka ada yang hanya mendefinisikan salah satu dari dua bagiannya saja.
Berikut beberapa definisi para ulama hadits dan definisi terpilih:
1. Definisi al-Khaththâby : yaitu, “setiap hadits yang diketahui jalur keluarnya, dikenal para periwayatnya, ia merupakan rotasi kebanyakan hadits dan dipakai oleh kebanyakan para ulama dan mayoritas ulama
fiqih.” (Ma’âlim
as-Sunan:I/11)
2. Definisi
at-Turmudzy : yaitu, “setiap hadits yang diriwayatkan, pada sanadnya tidak ada
periwayat yang tertuduh sebagai pendusta, hadits tersebut tidak Syâdzdz
(janggal/bertentangan dengan riwayat yang kuat) dan diriwayatkan lebih dari
satu jalur seperti itu. Ia-lah yang menurut kami dinamakan dengan Hadîts Hasan.”
(Jâmi’ at-Turmudzy beserta Syarah-nya, [Tuhfah al-Ahwadzy], kitab al-‘Ilal di
akhirnya: X/519)
3. Definisi Ibn Hajar: yaitu, “Khabar al-Ahâd yang diriwayatkan oleh seorang yang ‘adil, memiliki daya ingat (hafalan), sanadnya bersambung, tidak terdapat ‘illat dan tidak Syâdzdz, maka inilah yang dinamakan
3. Definisi Ibn Hajar: yaitu, “Khabar al-Ahâd yang diriwayatkan oleh seorang yang ‘adil, memiliki daya ingat (hafalan), sanadnya bersambung, tidak terdapat ‘illat dan tidak Syâdzdz, maka inilah yang dinamakan
Shahîh Li Dzâtih
(Shahih secara independen). Jika, daya ingat (hafalan)-nya kurang , maka ia
disebut Hasan Li Dzâtih (Hasan secara independen).” (an-Nukhbah dan Syarahnya:
29)
Syaikh Dr.Mahmûd ath-Thahhân mengomentari, “Menurut saya, Seakan Hadits Hasan menurut Ibn Hajar adalah hadits Shahîh yang kurang pada daya ingat/hafalan periwayatnya. Alias kurang (mantap) daya
Syaikh Dr.Mahmûd ath-Thahhân mengomentari, “Menurut saya, Seakan Hadits Hasan menurut Ibn Hajar adalah hadits Shahîh yang kurang pada daya ingat/hafalan periwayatnya. Alias kurang (mantap) daya
ingat/hafalannya.
Ini adalah definisi yang paling baik untuk Hasan. Sedangkan definisi al-Khaththâby
banyak sekali kritikan terhadapnya, sementara yang didefinisikan at-Turmudzy
hanyalah definisi salah satu dari dua bagian dari hadits Hasan, yaitu Hasan Li
Ghairih (Hasan karena adanya riwayat lain yang mendukungnya). Sepatutnya beliau
mendefinisikan Hasan Li Dzâtih sebab Hasan Li Ghairih pada dasarnya adalah
hadits lemah (Dla’îf) yang meningkat kepada posisi Hasan karena tertolong oleh
banyaknya jalur-jalur periwayatannya.”
Definisi
Terpilih
Definisi ini berdasarkan apa yang disampaikan oleh Ibn Hajar dalam definisinya di atas, yaitu:
“Hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil, yang kurang daya ingat (hafalannya), dari periwayat semisalnya hingga ke jalur terakhirnya (mata rantai terakhir), tidak terdapat
Definisi ini berdasarkan apa yang disampaikan oleh Ibn Hajar dalam definisinya di atas, yaitu:
“Hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil, yang kurang daya ingat (hafalannya), dari periwayat semisalnya hingga ke jalur terakhirnya (mata rantai terakhir), tidak terdapat
kejanggalan
(Syudzûdz) ataupun ‘Illat di dalamnya.”
Hukumnya
Di dalam berargumentasi dengannya, hukumnya sama dengan hadits Shahîh sekalipun dari sisi kekuatannya, ia berada di bawah hadits Shahih. Oleh karena itulah, semua ahli fiqih menjadikannya sebagai hujjah dan
Hukumnya
Di dalam berargumentasi dengannya, hukumnya sama dengan hadits Shahîh sekalipun dari sisi kekuatannya, ia berada di bawah hadits Shahih. Oleh karena itulah, semua ahli fiqih menjadikannya sebagai hujjah dan
mengamalkannya.
Demikian juga, mayoritas ulama hadits dan Ushul menjadikannya sebagai hujjah
kecuali pendapat yang aneh dari ulama-ulama yang dikenal keras
(al-Mutasyaddidûn). Sementara ulama yang
dikenal lebih
longgar (al-Mutasâhilûn) malah mencantumkannya ke dalam jenis hadits Shahîh
seperti al-Hâkim, Ibn Hibbân dan Ibn Khuzaimah namun disertai pendapat mereka
bahwa ia di bawah kualitas Shahih
yang sebelumnya
dijelaskan.” (Tadrîb ar-Râwy:I/160)
Contohnya
Hadits yang dikeluarkan oleh at-Turmudzy, dia berkata, “Qutaibah menceritakan kepada kami, dia berkata, Ja’far bin Sulaiman adl-Dluba’iy menceritakan kepada kami, dari Abu ‘Imrân al-Jawny, dari Abu Bakar
Contohnya
Hadits yang dikeluarkan oleh at-Turmudzy, dia berkata, “Qutaibah menceritakan kepada kami, dia berkata, Ja’far bin Sulaiman adl-Dluba’iy menceritakan kepada kami, dari Abu ‘Imrân al-Jawny, dari Abu Bakar
bin Abu Musa
al-Asy’ariy, dia berkata, “Aku telah mendengar ayahku saat berada di dekat
musuh berkata, ‘Rasulullah SAW., bersabda, “Sesungguhnya pintu-pintu surga itu
berada di bawah naungan pedang-
pedang…” (Sunan
at-Turmudzy, bab keutamaan jihad:V/300)
Hadits ini adalah
Hasan karena empat orang periwayat dalam sanadnya tersebut adalah orang-orang
yang dapat dipercaya (Tsiqât) kecuali Ja’far bin Sulaiman adl-Dlub’iy yang
merupakan periwayat hadits Hasan –sebagaimana yang dinukil oleh Ibn Hajar di
dalam kitab Tahdzîb at-Tahdzîb-. Oleh karena itu, derajat/kualitasnya turun
dari Shahîh ke Hasan.
Tingkatan-Tingakatannya
Sebagaimana hadits Shahih yang memiliki beberapa tingkatan yang karenanya satu
hadits shahih bisa berbeda dengan yang lainnya, maka demikian pula halnya
dengan hadits Hasan yang memiliki beberapa tingkatan.
Dalam hal ini, ad-Dzahaby menjadikannya dua tingkatan:
Dalam hal ini, ad-Dzahaby menjadikannya dua tingkatan:
Pertama, (yang
merupakan tingkatan tertinggi), yaitu: riwayat dari Bahz bin Hakîm dari
ayahnya, dari kakeknya; riwayat ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya;
Ibn Ishaq dari at-Tîmiy. Dan semisal itu dari hadits yang dikatakan sebagai
hadits Shahih padahal di bawah tingkatan hadits Shahih.
Ke-dua, hadits lain yang diperselisihkan ke-Hasan-an dan ke-Dla’îf-annya, seperti hadits al-Hârits bin ‘Abdullah, ‘Ashim bin Dlumrah dan Hajjâj bin Artha’ah, dan semisal mereka.
Tingkatan Ucapan Ulama Hadits, “Hadits yang shahîh sanadnya” atau “Hasan sanadnya”
1. Ucapan para ulama hadits, “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya” adalah di bawah kualitas ucapan mereka, “Ini adalah hadits Shahih.”
2. Demikian juga ucapan mereka, “Ini adalah hadits yang Hasan sanadnya” adalah di bawah kualitas ucapan mereka, “Ini adalah hadits Hasan” karena bisa jadi ia Shahih atau Hasan sanadnya tanpa matan
Ke-dua, hadits lain yang diperselisihkan ke-Hasan-an dan ke-Dla’îf-annya, seperti hadits al-Hârits bin ‘Abdullah, ‘Ashim bin Dlumrah dan Hajjâj bin Artha’ah, dan semisal mereka.
Tingkatan Ucapan Ulama Hadits, “Hadits yang shahîh sanadnya” atau “Hasan sanadnya”
1. Ucapan para ulama hadits, “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya” adalah di bawah kualitas ucapan mereka, “Ini adalah hadits Shahih.”
2. Demikian juga ucapan mereka, “Ini adalah hadits yang Hasan sanadnya” adalah di bawah kualitas ucapan mereka, “Ini adalah hadits Hasan” karena bisa jadi ia Shahih atau Hasan sanadnya tanpa matan
(redaksi/teks)nya
akibat adanya Syudzûdz atau ‘Illat.
Seorang ahli hadits
bila berkata, “Ini adalah hadits Shahih,” maka berarti dia telah memberikan
jaminan kepada kita bahwa ke-lima syarat keshahihan telah terpenuhi pada hadits
ini. Sedangkan bila dia mengatakan, “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya,”
maka artinya dia telah memberi jaminan kepada kita akan terpenuhinya tiga
syarat keshahihan, yaitu: sanad bersambung, keadilan si periwayat dan kekuatan
daya ingat/hafalan (Dlabth)-nya, sedangkan ketiadaan Syudzûdz atau ‘Illat pada
hadits itu, dia tidak bisa menjaminnya karena belum mengecek kedua hal ini
lebih lanjut.
Akan tetapi, bila
seorang Hâfizh (penghafal banyak hadits) yang dipegang ucapannya hanya sebatas
mengatakan, “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya,” tanpa menyebutkan ‘illat
(penyakit/alasan yang mencederai bobot suatu hadits); maka pendapat yang nampak
(secara lahiriah) adalah matannya juga Shahîh sebab asal ucapannya adalah bahwa
tidak ada ‘Illat di situ dan juga tidak ada Syudzûdz. Makna Ucapan at-Turmudzy
Dan Ulama Selainnya, “Hadits Hasan Shahîh” Secara implisit, bahwa ungkapan
seperti ini agak membingungkan sebab hadits Hasan kurang derajatnya dari hadits
Shahîh, jadi bagaimana bisa digabung antara keduanya padahal derajatnya
berbeda?. Untukmenjawab pertanyaan ini, para ulama memberikan jawaban yang
beraneka ragam atas maksud dari ucapan at-Turmudzy tersebut. Jawaban yang
paling bagus adalah yang dikemukakan oleh Ibn Hajar dan disetujui oleh
as-Suyûthy, ringkasannya adalah:
1. Jika suatu hadits
itu memiliki dua sanad (jalur transmisi/mata rantai periwayatan) atau lebih;
maka maknanya adalah “Ia adalah Hasan bila ditinjau dari sisi satu sanad dan
Shahîh bila ditinjau dari sisi sanad yang lain.”
2. Bila ia hanya memiliki satu sanad saja, maka maknanya adalah “Hasan menurut sekelompok ulama dan Shahîh menurut sekelompok ulama yang lain.”
2. Bila ia hanya memiliki satu sanad saja, maka maknanya adalah “Hasan menurut sekelompok ulama dan Shahîh menurut sekelompok ulama yang lain.”
Seakan Ibn Hajar
ingin menyiratkan kepada adanya perbedaan persepsi di kalangan para ulama
mengenai hukum terhadap hadits seperti ini atau belum adanya hukum yang dapat
dikuatkan dari salah satu dari ke-duanya.
Pengklasifikasian Hadits-Hadits Yang Dilakukan Oleh Imam al-Baghawy Dalam Kitab “Mashâbîh as-Sunnah”
Pengklasifikasian Hadits-Hadits Yang Dilakukan Oleh Imam al-Baghawy Dalam Kitab “Mashâbîh as-Sunnah”
Di dalam kitabnya,
“Mashâbîh as-Sunnah” imam al-Baghawy menyisipkan istilah khusus, yaitu
mengisyaratkan kepada hadits-hadits shahih yang terdapat di dalam kitab
ash-Shahîhain atau salah satunya dengan ungkapan, “Shahîh” dan kepada
hadits-hadits yang terdapat di dalam ke-empat kitab Sunan (Sunan an-Nasâ`iy,
Sunan Abi Dâ`ûd, Sunan at-Turmdzy dan Sunan Ibn Mâjah) dengan ungkapan,
“Hasan”. Dan ini merupakan isitlah yang tidak selaras dengan istilah umum yang
digunakan oleh ulama hadits sebab di dalam kitab-kitab Sunan itu juga terdapat
hadits Shahîh, Hasan, Dla’îf dan Munkar.
Oleh karena itulah,
Ibn ash-Shalâh dan an-Nawawy mengingatkan akan hal itu. Dari itu, semestinya
seorang pembaca kitab ini ( “Mashâbîh as-Sunnah” ) mengetahui benar istilah
khusus yang dipakai oleh Imam al-Baghawy di dalam kitabnya tersebut ketika
mengomentari hadits-hadits dengan ucapan, “Shahih” atau “Hasan.”
Kitab-Kitab Yang Di Dalamnya Dapat Ditemukan Hadits Hasan Para ulama belum ada yang mengarang kitab-kitab secara terpisah (tersendiri) yang memuat hadits Hasan saja sebagaimana yang mereka lakukan terhadap hadits Shahîh di dalam kitab-kitab terpisah (tersendiri),
Kitab-Kitab Yang Di Dalamnya Dapat Ditemukan Hadits Hasan Para ulama belum ada yang mengarang kitab-kitab secara terpisah (tersendiri) yang memuat hadits Hasan saja sebagaimana yang mereka lakukan terhadap hadits Shahîh di dalam kitab-kitab terpisah (tersendiri),
akan tetapi ada
beberapa kitab yang di dalamnya banyak ditemukan hadits Hasan. Di antaranya
yang paling masyhur adalah:
1. Kitab Jâmi’
at-Turmudzy atau yang lebih dikenal dengan Sunan at-Turmudzy. Buku inilah yang
merupakan induk di dalam mengenal hadits Hasan sebab at-Turmudzy-lah orang
pertama yang memasyhurkan istilah ini di dalam bukunya dan orang yang paling
banyak menyinggungnya.
Namun yang perlu
diberikan catatan, bahwa terdapat banyak naskah untuk bukunya tersebut yang
memuat ungkapan beliau, “Hasan Shahîh”, sehingga karenanya, seorang penuntut
ilmu harus memperhatikan hal ini dengan memilih naskah yang telah ditahqiq
(dianalisis) dan telah dikonfirmasikan dengan naskah-naskah asli (manuscript)
yang dapat dipercaya.
2. Kitab Sunan Abi
Dâ`ûd. Pengarang buku ini, Abu Dâ`ûd menyebutkan hal ini di dalam risalah
(surat)-nya kepada penduduk Mekkah bahwa dirinya menyinggung hadits Shahih dan
yang sepertinya atau mirip dengannya di dalamnya. Bila terdapat kelemahan yang
amat sangat, beliau menjelaskannya sedangkan yang tidak dikomentarinya, maka ia
hadits yang layak. Maka berdasarkan hal itu, bila kita mendapatkan satu hadits
di dalamnya yang tidak beliau jelaskan kelemahannya dan tidak ada seorang ulama
terpecayapun yang menilainya Shahih, maka ia Hasan menurut Abu Dâ`ûd.
3. Kitab Sunan ad-Dâruquthny. Beliau telah banyak sekali menyatakannya secara tertulis di dalam kitabnya ini.
3. Kitab Sunan ad-Dâruquthny. Beliau telah banyak sekali menyatakannya secara tertulis di dalam kitabnya ini.
http://www.saifalink.co.cc/2010/10/05/pengertian-hadits-hasan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar