TEMBOK YA'JUJ MA'JUJ | DAJJAL | YA’JUJ DAN MA’JUJ | al jassasah | wasiat ali bin abi thalib kepada hasan | hilal awal bulan romadhon | bid'ah maulid | bid'ah tahlilan

Jumat, 07 Februari 2014

ilmu Hadist

Hadits shahih adalah hadits yang terpenuhi padanya lima syarat:
1. Bersambung sanadnya, yaitu setiap perawi dari sanad bertemu langsung dengan gurunya dan mengambil hadits darinya.
2. Perawinya adil, dan perawi adil adalah yang memenuhi lima syarat: Islam, baligh, berakal, tidak fasiq dan tidak melakukan khawarim al muruah (adab-adab yang tidak islami).
3. Dlabith (menguasai hadits yang ia riwayatkan). Dan dlabith ada dua macam yaitu: dlabith shadr yaitu perawi hadits hafal hadits yg ia riwayatkan diluar kepala. Dan dlabith kitab, yaitu kitab yang ia miliki selamat dari perubahan, kesalahan penulisan, talqin dan sudah dicek kebenarannya.
4. Tidak syadz, yaitu periwayatan perawi yang tsiqah yang bertentangan dengan periwayatan perawi lain yang lebih tsiqah.
5. Tidak ada illatnya, dan illat adalah penyakit hadits yang tersembunyi yang dapat merusak keabsahan hadits.
Menelusuri Keabsahan Hadits
Tidak semua hadits yang sampai kepada kita adalah hadits yang shahih, namun ada hadits yang shahih dan ada pula hadits yang tidak shahih bahkan dusta atas nama Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka kewajiban seorang muslim adalah berhati-hati dalam menyampaikan hadits jangan sampai ia termasuk dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
مَنْ كَذَبَ عَلَيَ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.
“Barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya di dalam api Neraka.”
Dan Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengabarkan akan datangnya orang-orang yang akan berdusta atas nama beliau, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
يَكُوْنُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ دَجَّالُوْنَ كَذَّابُوْنَ يَأْتُوْنَكُمْ مِنَ الأَحَادِيْثِ بِمَا لَمْ تَسْمَعُوْا أَنْتُمْ وَلاَ آبَاؤُكُمْ فَإِيَّاكُمْ وَإِيَّاهُمْ لاَ يَضِلُّوْنَكُمْ وَلاَ يَفْتِنُوْنَكُمْ.
“Akan ada di akhir zaman para dajjal dan para pendusta yang membawa kepada kamu hadits-hadits yang tidak pernah kamu dengar tidak juga bapak-bapakmu, berhati-hatilah dari mereka, jangan sampai mereka menyesatkanmu dan memfitnahmu.” (HR Muslim).
Oleh karena itu para ulama sangat berhati-hati dalam menerima hadits terutama setelah munculnya fitnah dan pemikiran-pemikiran yang menyesatkan seperti syi’ah dan khowarij, sehingga mereka tidak mau mengambil hadits dari setiap orang kecuali setelah dipastikan kelurusan aqidah dan ketsiqohannya.
Mujahid berkata,”Busyair Al ‘Adawi pernah mendatangi ibnu ‘Abbas dan menyampaikan kepadanya hadits, ia berkata “Rosulullah shalllahu ‘alaihi wasalla juga bapak-bapakmu, berhati-hatilah dari mereka, jangan sampai mereka menyesatkanmu dan memfitnahmu.”k pernah kamu dengar tidakm bersabda begini, Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda… namun ibnu ‘Abbas tidak mau mendengarkan dan memperhatikannya, ia berkata,”Wahai ibnu ‘Abbas, mengapa engkau tidak mau mendengarkan haditsku ? aku menyampaikan kepada engkau hadits dari Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasllam tapi engkau tidak mendengarkannya ?
Ibnu ‘Abbas menjawab,”Dahulu kami apabila mendengar seseorang mengatakan “Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda” mata kami segera tertuju kepadanya dan pendengaran kami siap memperhatikannya, namun ketika manusia telah mengambil dari siapa saja, kami tidak mau mengambil dari mereka kecuali yang kami ketahui saja.”
Muhammad bin Sirin seorang tabi’in berkata,”Dahulu mereka tidak pernah bertanya tentang sanad, namun ketika telah terjadi fitnah mereka berkata,”Sebutkan nama-nama perawimu ! lalu dilihat ; jika ia ahlussunnah maka haditsnya diterima dan jika ia ahli bid’ah maka haditsnya ditolak.”
Sanad hadits kebanggaan umat islam.

Abu Bakar ibnul ‘Arobi berkata,”Dan Allah memuliakan umat ini dengan sanad yang tidak diberikan kepada umat manapun, maka waspadalah untuk meniti jalan Yahudi dan Nashrani (yaitu) kamu membawakan hadits dengan tanpa sanad sehingga kamupun mencabut ni’mat Allah dari dirimu sendiri, mendatangkan tuduhan terhadapmu, dan bersekutu dengan kaum yang dilaknat dan dimurkai oleh Allah dan menunggangi tata cara mereka.”
Syaikhul Islam ibnu Taimiyah berkata,”Ilmu sanad dan periwayatan termasuk yang Allah khususkan untuk umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan menjadikannya sebagai tangga menuju diroyah (memahami nash). Ahli kitab tidak mempunyai sanad dalam penukilan-penukilan mereka demikian pula ahli bid’ah dari umat ini, sanad hanyalah diberikan kepada ahlisunnah yang Allah agungkan keni’matan kepada mereka, dengan sanad mereka dapat membedakan antara yang shahih dan yang lemah, antara yang bengkok dan yang lurus.
Sedangkan ahlul bid’ah dan orang-orang kafir hanya sebatas menukil dengan tanpa sanad dan menyandarkan agama mereka kepadanya, bahkan mereka tidak dapat membedakan antara haq dan batil padanya”. Beliau juga berkata: “Sanad termasuk keistimewaan umat islam, dan dalam islam ia adalah keistimewaan ahlussunah. Dan kaum syi’ah rafidlah adalah kaum yang sangat sedikit perhatian mereka terhadap sanad, dimana mereka tidak membenarkan kecuali yang sesuai dengan hawa nafsu mereka saja dan menjadikan tanda dustanya (sebuah hadits) bila tidak sesuai dengan hawa nafsu mereka, oleh karena itu Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah berkata: “Ahlussunnah menulis hadits baik yang mendukung maupun yang tidak mendukung, sedangkan Ahlul hawa hanya menulis hadits yang mendukung mereka saja”.
Ahlul bid’ah meniti jalan lain yang mereka ada-adakan lalu menjadikannya sebagai sandaran, dan mereka menyebutkan Al Qur’an dan hadits hanya sebagai tameng saja bukan sebagai sandaran”.
Al Hafidz ibnu Katsir rahimahullah ketika berbicara tentang Iblis; apakah ia termasuk malaikat atau tidak, beliau berkata dalam tafsirnya:
“Telah diriwayatkan dalam masalah ini banyak atsar dari salaf namun kebanyakannya adalah israiliyat yang hendaknya diperiksa keadaannya, karena diantara kabar israiliyat tersebut ada yang dipastikan kedustaannya karena menyalahi kebenaran yang ada pada kita, dan Al Qur’an telah mencukupi semua kabar-kabar umat terdahulu.
Dan kabar-kabar israiliyat itu tidak lepas dari perubahan, penambahan dan pengurangan bahkan telah dipalsukan kabar yang banyak padanya, karena Ahlul kitab tidak mempunyai para hufadz (penghafal ilmu) yang kokoh yang dapat menangkis perubahan yang dilakukan oleh kalangan ekstrim dan pemalsuan yang dilakukan oleh para pemalsu.
Tidak seperti umat Islam ini, ada pada mereka para ulama pilihan yang bertaqwa, yang kokoh keilmuannya dan tajam pandangannya, para penghafal yang mahir yang telah mencatat hadits dan menjelaskan yang shahih dan hasan dari yang dla’if dan munkarnya serta yang palsu, matruk dan dustanya, mereka juga mengenali para pemalsu dan tukang dusta serta perawi-perawi yang majhul dan macam-macam perawi lainnya. Semua itu dalam rangka menjaga hadits nabi dan kedudukan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai penutup para Nabi agar tidak dinisbatkan kepada beliau perkataan yang dusta atau membawakan hadits dari beliau yang tidak pernah beliau ucapkan. Semoga Allah meridlai mereka dan menjadikan surga Firdaus sebagai tempat tinggal mereka”.

Hadits shahih adalah musnad dengan sanad yang bersambung dengan penukilan rawi yang berkriteria ‘adil dan dhabith dari rawi lain (gurunya) yang juga berkriteria ‘adil dan dhabith hingga akhir rantai sanad, dan terhindar dari syadz dan ‘illat (cacat)[1].
Dari definisi hadits shahih di atas, kita dapat memberikan definisi hadits shahih yang lain untuk memudahkan penuntut ilmu, baha yang dimaksud dengan hadits shahih adalah hadits yang memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :
a.   Hadits tersebut berupa musnad
b.   Hadits tersebut memiliki sanad yang bersambung (ittishalus sanad)
c.   Para perawinya adalah para perawi yang ‘adil dan dhabit
d.   Tidak syadz
e.   Tidak memiliki ‘illat (cacat).
Penjelasan
Berupa musnad. Hadits tersebut dinisbatkan kepada rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sebuah sanad. Definisi sanad telah dijelaskan pada artikel sebelumnya.
Sanad yang bersambung. Setiap perawi dari para perawi yang terdapat dalam rantai  sanad mendengar hadits tersebut dari syaikhnya.
Para perawinya ‘adil dan dhabit. Setiap perawi yang terdapat dalam rantai sanad berkriteria adil dan dhabit.
Apakah yang dimaksud dengan sifat adil (‘adalah) dan dhabt?
‘Adalah merupakan tabiat yang membawa pelakunya untuk senantiasa konsisten dalam ketakwaan, menjaga muru-ah (kehormatan), dan menjauhi berbagai keburukan seperti, kesyirikan, kefasikan, dan bid’ah[2].
Dhabt adalah kemampuan rawi untuk menghafal dan menjaga hadits yang diperoleh dari syaikhnya, dalam artian ketika dia bisa memberitakan hadits tersebut sesuai dengan redaksi yang diperdengarkan oleh gurunya kepadanya.
Dhabt terbagi menjadi dua, yaitu:
Dhabtush shadr, yaitu perawi menghafal riwayat secara sempurna dan ia mampu menghadirkan (menyampaikan) riwayat tersebut di waktu kapanpun sesuai dengan redaksi riwayat tatkala mendengar dari syaikhnya.[3]
Dhabtul kitab, perawi menjaga kitab yang berisi catatan hadits dan riwayat yang didengar dari syaikhnya atau sekolompok syaikh, dari kesalahan dengan cara mengoreksinya kepada ashlus syaikh yang memperdengarkan riwayat kepadanya atau dengan membandingkannya dengan kitab rujukan yang valid. Termasuk di dalam pengertian dhabthul kitab adalah perawi menjaga kitab catatannya itu dari tangan orang-orang yang sering menyisipkan hadits ke berbagai kitab yang lain.
Tidak syadz. Secara harfiah syadz berarti bersendiri, sedangkan menurut terminologi, syadz berarti periwayatan seorang rawi yang menyelisihi perawi yang lebih tsiqat darinya. Perincian mengenai hal ini akan disampaikan di pembahasan yang lain.
Tidak memiliki ‘illat. Maksudnya adalah hadits tersebut tidak memiliki cacat tersembunyi yang dapat mencoreng keshahihan hadits[4].
Contoh hadits shahih adalah hadits yang diriwayatkan Al Bukhari dalam Shahihnya 4/18, kitab Al Jihad was Siyar/ Bab Maa Ya’udzu minal Jubn, dia berkata,
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا مُعْتَمِرٌ قَالَ سَمِعْتُ أَبِى قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍرضى الله عنه – قَالَ كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ « اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْجُبْنِ وَالْهَرَمِ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ »
Musaddad memberitakan hadits kepadaku, dia berkata, ‘Mu’tamar telah memberitakan hadits kepadaku, dia berkata, ‘Saya telah mendengar ayahku berkata, ‘Saya pernah mendengar Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata, ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdo’a (yang artinya), ‘Wahai Allah, sungguh saya berlindung kepada-Mu dari sifat lemah, malas, pengecut, dan pikun. Dan saya berlindung kepada-Mu dari fitnah di kala hidup dan ketika telah mati, serta saya berlindung kepada-Mu dari siksa kubur.
Hadits di atas telah memenuhi syarat-syarat sebuah hadits shahih karena alasan berikut:
Pertama
Sanadnya dinisbatkan kepada nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua
Sanadnya bersambung dari awal hingga akhir sanad. Anas bin Malik adalah seorang sahabat yang mendengar dari nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; Sulaiman bin Tarkhan -ayah Mu’tamar- secara tegas menyatakan bahwa dia mendengar hadits tersebut dari Anas; demikian pula Mu’tamar yang menegaskan bahwa dia telah mendengar riwayat tersebut dari ayahnya; Syaikh Al Bukhari (Musaddad) yang tegas mengatakan bahwa dia telah mendengar dari Mu’tamar; dan juga Al Bukhari yang tegas menyatakan bahwa dia telah mendengarnya dari syaikhnya (Musaddad).
Ketiga
Terpenuhinya syarat ‘adl dan dhabt dalam diri masing-masing perawi sanad, dari sahabat Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu  hingga mukharrij –nya, yaitu Al Bukhari rahimahullah.
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu adalah seorang sahabat, dan seluruh sahabat -radhilallahu ‘anhum ajma’in- adalah ‘adil.
Sulaiman bin Tarkhan -ayah Mu’tamar- : tsiqat ‘abid.
Anaknya, Mu’tamar : tsiqat.
Musaddad bin Musarhad : tsiqat hafizh
Al Bukhari, penulis kitab Ash Shahih, Muhammad bin Isma’il : jabalul huffazh, amirul mukminin fil hadits.
Keempat
Demikian pula hadits ini tidak berstatus syadz.
Kelima
Tidak pula memiliki ‘illat (cacat).
Dengan demikian hadits di atas memenuhi syarat-syarat hadits shahih. Oleh karena itu, Al Bukhari mencantumkannya dalam kitab Shahihnya.

Pengertian Hadits


Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an.
Ada banyak ulama periwayat hadits, namun yang sering dijadikan referensi hadits-haditsnya ada tujuh ulama, yakni Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Ahmad, Imam Nasa'i, dan Imam Ibnu Majah.
Ada bermacam-macam hadits, seperti yang diuraikan di bawah ini.
·         Hadits yang dilihat dari banyak sedikitnya perawi
o    Hadits Mutawatir
o    Hadits Ahad
§  Hadits Shahih
§  Hadits Hasan
§  Hadits Dha'if
·         Menurut Macam Periwayatannya
o    Hadits yang bersambung sanadnya (hadits Marfu' atau Maushul)
o    Hadits yang terputus sanadnya
§  Hadits Mu'allaq
§  Hadits Mursal
§  Hadits Mudallas
§  Hadits Munqathi
§  Hadits Mu'dhol
·         Hadits-hadits dha'if disebabkan oleh cacat perawi
o    Hadits Maudhu'
o    Hadits Matruk
o    Hadits Mungkar
o    Hadits Mu'allal
o    Hadits Mudhthorib
o    Hadits Maqlub
o    Hadits Munqalib
o    Hadits Mudraj
o    Hadits Syadz
·         Beberapa pengertian dalam ilmu hadits
·         Beberapa kitab hadits yang masyhur / populer
 

I. Hadits yang dilihat dari banyak sedikitnya Perawi

I.A. Hadits Mutawatir

Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad yang tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Berita itu mengenai hal-hal yang dapat dicapai oleh panca indera. Dan berita itu diterima dari sejumlah orang yang semacam itu juga. Berdasarkan itu, maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar suatu hadits bisa dikatakan sebagai hadits Mutawatir:
1.      Isi hadits itu harus hal-hal yang dapat dicapai oleh panca indera.
2.      Orang yang menceritakannya harus sejumlah orang yang menurut ada kebiasaan, tidak mungkin berdusta. Sifatnya Qath'iy.
3.      Pemberita-pemberita itu terdapat pada semua generasi yang sama.
 

I.B. Hadits Ahad

Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tetapi tidak mencapai tingkat mutawatir. Sifatnya atau tingkatannya adalah "zhonniy". Sebelumnya para ulama membagi hadits Ahad menjadi dua macam, yakni hadits Shahih dan hadits Dha'if. Namun Imam At Turmudzy kemudian membagi hadits Ahad ini menjadi tiga macam, yaitu:

I.B.1. Hadits Shahih

Menurut Ibnu Sholah, hadits shahih ialah hadits yang bersambung sanadnya. Ia diriwayatkan oleh orang yang adil lagi dhobit (kuat ingatannya) hingga akhirnya tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih) dan tidak mu'allal (tidak cacat). Jadi hadits Shahih itu memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :
1.      Kandungan isinya tidak bertentangan dengan Al-Qur'an.
2.      Harus bersambung sanadnya
3.      Diriwayatkan oleh orang / perawi yang adil.
4.      Diriwayatkan oleh orang yang dhobit (kuat ingatannya)
5.      Tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih)
6.      Tidak cacat walaupun tersembunyi.

I.B.2. Hadits Hasan

Ialah hadits yang banyak sumbernya atau jalannya dan dikalangan perawinya tidak ada yang disangka dusta dan tidak syadz.

I.B.3. Hadits Dha'if

Ialah hadits yang tidak bersambung sanadnya dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil dan tidak dhobit, syadz dan cacat.
 

II. Menurut Macam Periwayatannya

II.A. Hadits yang bersambung sanadnya

Hadits ini adalah hadits yang bersambung sanadnya hingga Nabi Muhammad SAW. Hadits ini disebut hadits Marfu' atau Maushul.
 

II.B. Hadits yang terputus sanadnya

II.B.1. Hadits Mu'allaq

Hadits ini disebut juga hadits yang tergantung, yaitu hadits yang permulaan sanadnya dibuang oleh seorang atau lebih hingga akhir sanadnya, yang berarti termasuk hadits dha'if.

II.B.2. Hadits Mursal

Disebut juga hadits yang dikirim yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para tabi'in dari Nabi Muhammad SAW tanpa menyebutkan sahabat tempat menerima hadits itu.

II.B.3. Hadits Mudallas

Disebut juga hadits yang disembunyikan cacatnya. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, baik dalam sanad ataupun pada gurunya. Jadi hadits Mudallas ini ialah hadits yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya.

II.B.4. Hadits Munqathi

Disebut juga hadits yang terputus yaitu hadits yang gugur atau hilang seorang atau dua orang perawi selain sahabat dan tabi'in.

II.B.5. Hadits Mu'dhol

Disebut juga hadits yang terputus sanadnya yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para tabi'it dan tabi'in dari Nabi Muhammad SAW atau dari Sahabat tanpa menyebutkan tabi'in yang menjadi sanadnya. Kesemuanya itu dinilai dari ciri hadits Shahih tersebut di atas adalah termasuk hadits-hadits dha'if.

III. Hadits-hadits dha'if disebabkan oleh cacat perawi

III.A. Hadits Maudhu'

Yang berarti yang dilarang, yaitu hadits dalam sanadnya terdapat perawi yang berdusta atau dituduh dusta. Jadi hadits itu adalah hasil karangannya sendiri bahkan tidak pantas disebut hadits.

III.B. Hadits Matruk

Yang berarti hadits yang ditinggalkan, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi saja sedangkan perawi itu dituduh berdusta.

III.C. Hadits Mungkar

Yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya / jujur.

III.D. Hadits Mu'allal

Artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi. Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani bahwa hadis Mu'allal ialah hadits yang nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa disebut juga dengan hadits Ma'lul (yang dicacati) atau disebut juga hadits Mu'tal (hadits sakit atau cacat).

III.E. Hadits Mudhthorib

Artinya hadits yang kacau yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari beberapa sanad dengan matan (isi) kacau atau tidak sama dan kontradiksi dengan yang dikompromikan.

III.F. Hadits Maqlub

Artinya hadits yang terbalik yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) maupun matan (isi).

III.G. Hadits Munqalib

Yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah.

III.H. Hadits Mudraj

Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang didalamnya terdapat tambahan yang bukan hadits, baik keterangan tambahan dari perawi sendiri atau lainnya.

III.I. Hadits Syadz

Hadits yang jarang yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah (terpercaya) yang bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari perawi-perawi (periwayat / pembawa) yang terpercaya pula. Demikian menurut sebagian ulama Hijaz sehingga hadits syadz jarang dihapal ulama hadits. Sedang yang banyak dihapal ulama hadits disebut juga hadits Mahfudz.

IV. Beberapa pengertian (istilah) dalam ilmu hadits

IV.A. Muttafaq 'Alaih

Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sumber sahabat yang sama, atau dikenal juga dengan Hadits Bukhari - Muslim.

IV.B. As Sab'ah

As Sab'ah berarti tujuh perawi, yaitu:
1.      Imam Ahmad
2.      Imam Bukhari
3.      Imam Muslim
4.      Imam Abu Daud
5.      Imam Tirmidzi
6.      Imam Nasa'i
7.      Imam Ibnu Majah

IV.C. As Sittah

Yaitu enam perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Ahmad bin Hanbal.

IV.D. Al Khamsah

Yaitu lima perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Bukhari dan Imam Muslim.

IV.E. Al Arba'ah

Yaitu empat perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Ahmad, Imam Bukhari dan Imam Muslim.

IV.F. Ats tsalatsah

Yaitu tiga perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim dan Ibnu Majah.

IV.G. Perawi

Yaitu orang yang meriwayatkan hadits.

IV.H. Sanad

Sanad berarti sandaran yaitu jalan matan dari Nabi Muhammad SAW sampai kepada orang yang mengeluarkan (mukhrij) hadits itu atau mudawwin (orang yang menghimpun atau membukukan) hadits. Sanad biasa disebut juga dengan Isnad berarti penyandaran. Pada dasarnya orang atau ulama yang menjadi sanad hadits itu adalah perawi juga.

IV.I. Matan

Matan ialah isi hadits baik berupa sabda Nabi Muhammad SAW, maupun berupa perbuatan Nabi Muhammad SAW yang diceritakan oleh sahabat atau berupa taqrirnya.

V. Beberapa kitab hadits yang masyhur / populer

1.      Shahih Bukhari
2.      Shahih Muslim
3.      Riyadhus Shalihin


Klasifikasi Hadits berdasarkan pada Kuat Lemahnya Berita
Berdasarkan pada kuat lemahnya hadits tersebut dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu hadits maqbul (diterima) dan mardud (tertolak). Hadits yang diterima terbagi menjadi dua, yaitu hadits yang shahih dan hasan. Sedangkan yang tertolak disebut juga dengan dhaif.
1. Hadits Yang Diterima (Maqbul)
Hadits yang diterima dibagi menjadi 2 (dua):
1. 1. Hadits Shahih
1. 1. 1. Definisi:
Menurut Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Nukhbatul Fikar, yang dimaksud dengan hadits shahih adalah adalah:
Hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber’illat dan tidak janggal.
Dalam kitab Muqaddimah At-Thariqah Al-Muhammadiyah disebutkan bahwa definisi hadits shahih itu adalah:
Hadits yang lafadznya selamat dari keburukan susunan dan maknanya selamat dari menyalahi ayat Quran.
1. 1. 2. Syarat-Syarat Hadits Shahih:
Untuk bisa dikatakan sebagai hadits shahih, maka sebuah hadits haruslah memenuhi kriteria berikut ini:
  • Rawinya bersifat adil, artinya seorang rawi selalu memelihara ketaatan dan menjauhi perbuatan maksiat, menjauhi dosa-dosa kecil, tidak melakukan perkara mubah yang dapat menggugurkan iman, dan tidak mengikuti pendapat salah satu mazhab yang bertentangan dengan dasar syara’
  • Sempurna ingatan (dhabith), artinya ingatan seorang rawi harus lebih banyak daripada lupanya dan kebenarannya harus lebih banyak daripada kesalahannya, menguasai apa yang diriwayatkan, memahami maksudnya dan maknanya
  • Sanadnya tiada putus (bersambung-sambung) artinya sanad yang selamat dari keguguran atau dengan kata lain; tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari yang memberi hadits.
  • Hadits itu tidak ber’illat (penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshahihan suatu hadits)
  • Tidak janggal, artinya tidak ada pertentangan antara suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajin daripadanya.
1. 2. Hadits Hasan
1.2.1. Definisi
Secara bahasa, Hasan adalah sifat yang bermakna indah. Sedangkansecara istilah, para ulama mempunyai pendapat tersendiri seperti yang disebutkan berikut ini:
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Nukhbatul Fikar menuliskan tentang definisi hadits Hasan:
Hadits yang dinukilkan oleh orang yang adil, yang kurang kuat ingatannya, yang muttashil (bersambung-sambung sanadnya), yang musnad jalan datangnya sampai kepada nabi SAW dan yang tidak cacat dan tidak punya keganjilan.
At-Tirmizy dalam Al-Ilal menyebutkan tentang pengertian hadits hasan:
Hadits yang selamat dari syuadzudz dan dari orang yang tertuduh dusta dan diriwayatkan seperti itu dalam banyak jalan.
Al-Khattabi menyebutkan tentang pengertian hadits hasan:
Hadits yang orang-orangnya dikenal, terkenal makhrajnya dan dikenal para perawinya.
Yang dimaksud dengan makhraj adalah dikenal tempat di mana dia meriwayatkan hadits itu. Seperti Qatadah buat penduduk Bashrah, Abu Ishaq as-Suba'i dalam kalangan ulama Kufah dan Atha' bagi penduduk kalangan Makkah.
Jumhur ulama: Hadits yang dinukilkan oleh seorang yang adil (tapi) tidak begitu kuat ingatannya, bersambung-sambung sanadnya dan tidak terdapat ‘illat serta kejanggalan matannya.
Maka bisa disimpulkan bahwa hadits hasan adalah hadits yang pada sanadnya tiada terdapat orang yang tertuduh dusta, tiada terdapat kejanggalan pada matannya dan hadits itu diriwayatkan tidak dari satu jurusan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan maknanya.
1.2.2. Klasifikasi Hadits Hasan
Hasan Lidzatih
Yaitu hadits hasan yang telah memenuhi syarat-syaratnya. Atau hadits yang bersambung-sambung sanadnya dengan orang yang adil yang kurang kuat hafalannya dan tidak terdapat padanya sydzudz dan illat.
Di antara contoh hadits ini adalah:
لولا أن أشق على أمتي لأمرتهم بالسواك عند كل صلاة
Seandainya aku tidak memberatkan umatku, maka pasti aku perintahkan untuk menggosok gigi setiap waktu shalat
Hadits Hasan lighairih
Yaitu hadits hasan yang sanadnya tidak sepi dari seorang mastur (tak nyata keahliannya), bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak tampak adanya sebab yang menjadikan fasik dan matan haditsnya adalah baik berdasarkan periwayatan yang semisal dan semakna dari sesuatu segi yang lain.
Ringkasnya, hadits hasan li ghairihi ini asalnya adalah hadits dhaif (lemah), namun karena ada ada mu'adhdhid, maka derajatnya naik sedikit menjadi hasan li ghairihi. Andaikata tidak ada 'Adhid, maka kedudukannya dhaif.
Di antara contoh hadits ini adalah hadits tentang Nabi SAW membolehkan wanita menerima mahar berupa sepasang sandal:
أرضيت من نفسك ومالك بنعلين؟ قالت: نعم، فأجاز "Apakah kamu rela menyerahkan diri dan hartamu dengan hanya sepasang sandal ini?" Perempuan itu menjawab, "Ya." Maka nabi SAW pun membolehkannya.
Hadits ini asalnya dhaif (lemah), karena diriwayatkan oleh Turmuzy dari 'Ashim bin Ubaidillah dari Abdullah bin Amr. As-Suyuti mengatakan bahwa 'Ashim ini dhaif lantaran lemah hafalannya. Namun karena ada jalur lain yang lebih kuat, maka posisi hadits ini menjadi hasan li ghairihi.
Kedudukan Hadits Hasan adalah berdasarkan tinggi rendahnya ketsiqahan dan keadilan para rawinya, yang paling tinggi kedudukannya ialah yang bersanad ahsanu’l-asanid.
Hadits Shahih dan Hadits Hasan ini diterima oleh para ulama untuk menetapkan hukum (Hadits Makbul).
Hadits Hasan Naik Derajat Menjadi Shahih
Bila sebuah hadits hasan li dzatihi diriwayatkan lagi dari jalan yang lain yang kuat keadaannya, naiklah dia dari derajat hasan li dzatihi kepada derajat shahih. Karena kekurangan yang terdapat pada sanad pertama, yaitu kurang kuat hafalan perawinya telah hilang dengan ada sanad yang lain yang lebih kuat, atau dengan ada beberapa sanad lain.
* * *
2. Hadits Mardud (Tertolak)
Setelah kita bicara hadits maqbul yang di dalamnya adahadits shahih dan hasan, sekarang kita bicara tentang kelompok yang kedua, yaitu hadits yang tertolak.
Hadits yang tertolak adalah hadits yang dhaif dan juga hadits palsu. Sebenarnya hadits palsu bukan termasuk hadits, hanya sebagian orang yang bodoh dan awam yang memasukkannya ke dalam hadits. Sedangkan hadits dhaif memang benar sebuah hadits, hanya saja karena satu sebab tertentu, hadis dhaif menjadi tertolak untuk dijadikan landasan aqidah dan syariah.
2.1 Definisi:

Hadits Dhaif yaitu hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits Shahih atau hadits Hasan.
Hadits Dhaif merupakan hadits Mardud yaitu hadits yang tidak diterima oleh para ulama hadits untuk dijadikan dasar hukum.
2.2. Penyebab Tertolak
Ada beberapa alasan yang menyebabkan tertolaknya Hadits Dhaif, yaitu:
2.2.1 Adanya Kekurangan pada Perawinya
Baik tentang keadilan maupun hafalannya, misalnya karena:
  • Dusta (hadits maudlu)
  • Tertuduh dusta (hadits matruk)
  • Fasik, yaitu banyak salah lengah dalam menghafal
  • Banyak waham (prasangka) disebut hadits mu’allal
  • Menyalahi riwayat orang kepercayaan
  • Tidak diketahui identitasnya (hadits Mubham)
  • Penganut Bid’ah (hadits mardud)
  • Tidak baik hafalannya (hadits syadz dan mukhtalith)
2.2.2. Karena Sanadnya Tidak Bersambung
  • Kalau yang digugurkan sanad pertama disebut hadits mu’allaq
  • Kalau yang digugurkan sanad terakhir (sahabat) disebut hadits mursal
  • Kalau yang digugurkan itu dua orang rawi atau lebih berturut-turut disebut hadits mu’dlal
  • Jika tidak berturut-turut disebut hadits munqathi’
2. 2. 3. Karena Matan (Isi Teks) Yang Bermasalah
Selain karena dua hal di atas, kedhaifan suatu hadits bisa juga terjadi karena kelemahan pada matan. Hadits Dhaif yang disebabkan suatu sifat pada matan ialah hadits Mauquf dan Maqthu’
Oleh karenanya para ulama melarang menyampaikan hadits dhaif tanpa menjelaskan sanadnya. Adapun kalau dengan sanadnya, mereka tidak mengingkarinya
2.3. Hukum Mengamalkan Hadits Dhaif
Segenap ulama sepakat bahwa hadits yang lemah sanadnya (dhaif) untuk masalah aqidah dan hukum halal dan haram adalah terlarang. Demikian juga dengan hukum jual beli, hukum akad nikah, hukum thalaq dan lain-lain.
Tetapi mereka berselisih faham tentang mempergunakan hadits dha'if untuk menerangkan keutamaan amal, yang sering diistilahkan dengan fadhailul a'mal, yaitu untuk targhib atau memberi semangat menggembirakan pelakunya atau tarhib (menakutkan pelanggarnya).
Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim menetapkan bahwa bila hadits dha'if tidak bisa digunakan meski hanya untuk masalah keutamaan amal. Demikian juga para pengikut Daud Azh-Zhahiri serta Abu Bakar Ibnul Arabi Al-Maliki. Tidak boleh siapapun dengan tujuan apapun menyandarkan suatu hal kepada Rasulullah SAW, sementara derajat periwayatannya lemah.
Ketegasan sikap kalangan ini berangkat dari karakter dan peran mereka sebagai orang-orang yang berkonsentrasi pada keshahihan suatu hadits. Imam Al-Bukhari dan Muslim memang menjadi maskot masalah keshahihan suatu riwayat hadits. Kitab shahih karya mereka masing-masing adalah kitab tershahih kedua dan ketiga di permukaan muka bumi setelah Al-Quran Al-Kariem.
Senjata utama mereka yang paling sering dinampakkan adalah hadits dari Rasulullah SAW:
Siapa yang menceritakan sesuatu hal dari padaku padahal dia tahu bahwa hadits itu bukan haditsku, maka orang itu salah seorang pendusta. (HR Bukhari Muslim)
Sedangkan Al-Imam An-Nawawi rahimahulah di dalam kitab Al-Adzkar mengatakan bahwa para ulama hadits dan para fuqaha membolehkan kita mempergunakan hadits yang dhaif untuk memberikan targhib atau tarhib dalam beramal, selama hadits itu belum sampai kepada derajat maudhu' (palsu).
Namun pernyataan beliau ini seringkali dipahami secara salah kaprah. Banyak yang menyangka bahwa maksud pernyataan Imam An-Nawawi itu membolehkan kita memakai hadits dhaif untuk menetapkan suatu amal yang hukumnya sunnah.
Padahal yang benar adalah masalah keutamaan suatu amal ibadah. Jadi kita tetap tidak boleh menetapkan sebuah ibadah yang bersifat sunnah hanya dengan menggunakan hadits yang dhaif, melainkan kita boleh menggunakan hadits dha'if untuk menggambarkan bahwa suatu amal itu berpahala besar.
Sedangkan setiap amal sunnah, tetap harus didasari dengan hadits yang kuat.
Lagi pula, kalau pun sebuah hadits itu boleh digunakan untuk memberi semangat dalam beramal, maka ada beberapa syarat yang juga harus terpenuhi, antara lain:
  1. Derajat kelemahan hadits itu tidak terlalu parah. Perawi yang telah dicap sebagai pendusta, atau tertuduh sebagai pendusta atau yang terlalu sering keliru, maka haditsnya tidak bisa dipakai. Sebab derajat haditsnya sudah sangat parah kelemahannya.
  2. Perbuatan amal itu masih termasuk di bawah suatu dasar yang umum. Sedangkan sebuah amal yang tidak punya dasar sama sekali tidak boleh dilakkan hanya berdasarkan hadits yang lemah.
  3. Ketika seseorang mengamalkan sebuah amalan yang disemangati dengan hadits lemah, tidak boleh diyakini bahwa semangat itu datangnya dari nabi SAW. Agar kita terhindar dari menyandarkan suatu hal kepada Rasulullah SAW sementara beliau tidak pernah menyatakan hal itu.
Demikian sekelumit informasi singkat tentang pembagian hadits, dilihat dari sudut apakah hadits itu bisa diterima ataukah hadits itu tertolak.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc


PEMBAHASAN
I. Hadits Shahih
I.1 Definisi Hadits Shahih
kata Shahih ((الصحيخ dalam bahasa diartikan orang sehat antonim dari kata as-saqim ( (السقيمorang yang sakit jadi yang dimaksud hadits shahih adalah hadits yang sehat dan benar tidak terdapat penyakit dan cacat.
هو ما اتصل سنده بنكل العدل الضابط ضبطا كاملا عن مثله وخلا ممن الشذوذ و العلة
hadis yang muttasil (bersambung) sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil dan dhobith(kuat daya ingatan) sempurna dari sesamanya, selamat dari kejanggalan (syadz), dan cacat (‘ilat).
Imam Al-Suyuti mendifinisikan hadis shahih dengan “hadis yang bersambung sanadnya, dfiriwayatkan oleh perowi yang adil dan dhobit, tidak syadz dan tidak ber’ilat”.
Defisi hadis shahih secara konkrit baru muncul setelah Imam Syafi’i memberikan penjelasan tentang riwayat yang dapat dijadikan hujah, yaitu:
pertama, apabila diriwayatkan oleh para perowi yang dapat dipercaya pengamalan agamanya, dikenal sebagai orang yang jujur mermahami hadis yang diriwayatkan dengan baik, mengetahui perubahan arti hadis bila terjadi perubahan lafadnya; mampu meriwayatkan hadis secara lafad, terpelihara hafalannya bila meriwayatkan hadis secara lafad, bunyi hadis yang Dia riwayatkan sama dengan hadis yang diriwayatkan orang lain dan terlepas dari tadlis (penyembuyian cacat),
kedua, rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi SAW. atau dapat juga tidak sampai kepada Nabi.
Imam Bukhori dan Imam Muslim membuat kriteria hadis shahih sebagai berikut:
1)      Rangkaian perawi dalam sanad itu harus bersambung mulai dari perowi pertama sampai perowi terakhir.
2)      Para perowinya harus terdiri dari orang-orang yang dikenal siqat, dalam arti adil dan dhobith,
3)      Hadisnya terhindar dari ‘ilat (cacat) dan syadz (janggal), dan
4)      Para perowi yang terdekat dalam sanad harus sejaman.

I.2 Syarat-Syarat Hadis Shahih
Berdasarkan definisi hadis shahih diatas, dapat dipahami bahwa syarat-syarat hadis shahih dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Sanadnya Bersambung
Maksudnya adalah tiap-tiap perowi dari perowi lainnya benar-benar mengambil secara langsung dari orang yang ditanyanya, dari sejak awal hingga akhir sanadnya.
Untuk mengetahui dan bersambungnya dan tidaknya suatu sanad, biasanya ulama’ hadis menempuh tata kerja sebagai berikut;
  1. Mencatat semua periwayat yang diteliti,
  2. Mempelajari hidup masing-masing periwayat,
  3. Meneliti kata-kata yang berhubungan antara para periwayat dengan periwayat yang     terdekat dalam sanad, yakni apakah kata-kata yang terpakai berupa haddasani, haddasani, akhbarana, akhbarani, ‘an,anna, atau kasta-kata lainnya.
b. Perawinya Bersifat Adil
Maksudnya adalah tiap-tiap perowi itu seorang Muslim, bersetatus Mukallaf  (baligh), bukan fasiq dan tidak pula jelek prilakunya.
Dalam menilai keadilan seorang periwayat cukup dilakuakan dengan salah satu teknik berikut:
  1. keterangan seseorang atau beberapa ulama ahli ta’dil bahwa seorang itu bersifat adil,  sebagaimana yang disebutkan dalam kitab-kitab jarh wa at-ta’dil.
  2. ketenaran seseorang bahwa ia bersifast adil, sdeperti imam empat Hanafi,Maliki, Asy-Syafi’i, dan Hambali.
khusus mengenai perawi hadis pada tingkat sahabat, jumhur ulama sepakat bahwa seluruh sahabat adalah adil. Pandangan berbeda datang dari golongan muktazilah yang menilai bahwa sahabat yang terlibat dalam pembunuhan ‘Ali dianggap fasiq, dan periwayatannya pun ditolak.
c. Perowinya Bersifat Dhobith
Maksudnya masing-masing perowinya sempurna daya ingatannya, baik berupa kuat ingatan dalam dada maupun dalam kitab (tulisan).
Dhobith dalam dada ialah terpelihara periwayatan dalam ingatan, sejak ia maneriama hadis sampai meriwayatkannya kepada orang lain, sedang, dhobith dalam kitab ialah terpeliharanya kebenaran suatu periwayatan melalui tulisan.
Adapun sifat-sifat kedhobitan perowi, nmenurut para ulama, dapat diketahui melalui:
  1. kesaksian para ulama
  2. berdasarkan kesesuaian riwayatannya dengan riwayat dari orang lain yang telah dikenal kedhobithannya.
d. Tidak Syadz
Maksudnya ialah hadis itu benar-benar tidak syadz, dalam arti bertentangan atau menyalesihi orang yang terpercaya dan lainnya.
Menurut al-Syafi’i, suatu hadis tidak dinyastakan sebagai mengandung syudzudz, bila hadis itu hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat yang tsiqah, sedang periwayat yang tsiqah lainnya tidak meriwayatkan hadis itu. Artinya, suatu hadis dinyatakan syudzudz, bila hadisd yang diriwayatkan oleh seorang periwayat yang tsiqah tersebut bertentengan dengan hadis yang dirirwayatkan oleh banyak periwayat yang juga bersifat tsiqah.
e. Tidak Ber’ilat
Maksudnya ialah hadis itu tidak ada cacatnya, dalam arti adanya sebab yang menutup tersembunyi yang dapat menciderai pada ke-shahih-an hadis, sementara dhahirnya selamat dari cacat.
‘Illat hadis dapat terjadi pada sanad mapun pada matan atau pada keduanya secara bersama-sama. Namun demikian, ‘illat yang paling banyak terjadi adalah pada sanad, seperti menyebutkan muttasil terhadap hadis yang munqati’ atau mursal.
I.3. Pembagian Hadis Shahih
Para ahli hadis membagi hadis shahih kepada dua bagian, yaitu shahih li-dzati dan shahih li-ghoirih. perbedaan antara keduanya terletak pada segi hafalan atau ingatan perowinya. pada shahih li-dzatih, ingatan perowinya sempurna, sedang pada hadis shahih li-ghoirih, ingatan perowinya kurang sempurna.
a.Hadis Shahih li dzati
Maksudnya ialah syarat-syarat lima tersebut benar-benar telah terbukti adanya,bukan dia itu terputus tetapi shahih dalam hakikat masalahnya, karena bolehnya salah dan khilaf bagi orang kepercayaan.
b. Hadis Shahih Li Ghoirihi
Maksudnya ialah hadis tersebut tidak terbukti adanya lima syarat hadis shahih tersebut baik keseluruhan atau sebagian. Bukan berarti sama sekali dusta, mengingat bolehnya berlaku bagi orang yang banyak salah.
Hadis shahih li-ghoirih, adalah hadis hasan li-dzatihi apabila diriwayatkan melamui jalan yang lain oleh perowi yang sama kualitasnya atau yang lebih kuat dari padanya.

I.4 Kehujahan Hadis Shahih
Hadis yang telah memenuhi persyaratan hadis shahih wajib diamalkan sebagai hujah atau dalil syara’ sesuai ijma’ para uluma hadis dan sebagian ulama ushul dan fikih. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan dengan penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan aqidah.
Sebagian besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qat’i, yaitu al-Quran dan hadis mutawatir. oleh karena itu, hadis ahad tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan aqidah.
I.5 Tingkatan Hadis Shahih
Perlu diketahui bahwa martabat hadis shahih itu tergantung tinggi dan rendahnya kepada ke-dhabit-an dan keadilan para perowinya. Berdasarkan martabat seperti ini, para muhadisin membagi tingkatan sanad menjadi tiga yaitu:
Pertama, ashah al-asanid yaitu rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya. seperti periwayatan sanad dari Imam Malik bin Anas dari Nafi’ mawla (mawla = budak yang telah dimerdekakan) dari Ibnu Umar.
Kedua, ahsan al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadis yang yang tingkatannya dibawash tingkat pertama diatas. Seperti periwayatan sanad dari Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Anas.
Ketiga. ad’af al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadis yang tingkatannya lebih rendah dari tingkatan kedua. seperti periwayatan Suhail bin Abu Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah.
Dari segi persyaratan shahih yang terpenuhi dapat dibagi menjadi tujuh tingkatan, yang secara berurutan sebagai berikut:
a)      Hadis yang disepakati oleh bukhari dan muslim (muttafaq ‘alaih),
b)      Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori saja,
c)      Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim saja,
d)     Hadis yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan AL-Bukhari dan Muslim,
e)      Hadis yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Al-Bukhari saja,
f)       Hadis yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Muslim saja,
g)      Hadis yang dinilai shahih menurut ilama hadis selain Al-Bukhari dan Muslim dan tidak mengikuti persyratan keduanya, seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain.
Kitab-kitab hadis yang menghimpun hadis shahih secara berurutan sebagai berikut:
1.      Shahih Al-Bukhari (w.250 H).
2.      Shahih Muslim (w. 261 H).
3.      Shahih Ibnu Khuzaimah (w. 311 H).
4.      Shahih Ibnu Hiban (w. 354 H).
5.      Mustadrok Al-hakim (w. 405).
6.      Shahih Ibn As-Sakan.
7.      Shahih Al-Abani.
II. HADIS HASAN
II.1 Pengertian Hadis Hasan
Secara bahasa, hasan berarti al-jamal, yaitu indah. Hasan juga dapat juga berarti sesuatu sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu. Sedangkan para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan hadis hasan karena melihat bahwa ia meupakan pertengahan antara hadis shahih dan hadis dha’if, dan juga karena sebagian ulama mendefinisikan sebagai salah satu bagiannya. Sebagian dari definisinya yaitu:
  1. definisi al- Chatabi: adalah hadis yang diketahui tempat keluarnya, dan telah mashur rawi-rawi sanadnya, dan kepadanya tempat berputar kebanyakan hadis, dan yang diterima kebanyakan ulama, dan yang dipakai oleh umumnya fukoha
  2. definisi Tirmidzi: yaitu semua hadis yang diriwayatkan, dimana dalam sanadnya tidak ada yang dituduh berdusta, serta tidak ada syadz (kejangalan), dan diriwatkan dari selain jalan sepereti demikian, maka dia menurut kami adalah hadis hasan.
  3. definisi Ibnu Hajar: beliau berkata, adalah hadis ahad yang diriwayatkan oleh yang adil, sempurna ke-dhabit-annya, bersanbung sanadnya, tidak cacat, dan tidak syadz (janggal) maka dia adalah hadis shahih li-dzatihi, lalu jika ringan ke-dhabit-annya maka dia adalah hadis hasan li dszatihi.
Kriteria hadis hasan sama dengan kriteria hadis shahih. Perbedaannya hanya terletak pada sisi ke-dhabit-annya. yaitu hadis shahih lebih sempurna ke-dhabit-annya dibandingkan dengan hadis hasan. Tetapi jika dibandingkan dengan ke-dhabit-an perawi hadis dha’if tentu belum seimbang, ke-dhabit-an perawi hadis hasan lebih unggul.
II.2 Macam-Macam Hadis Hasan
Sebagaimana hadis shahih yang terbagi menjadi dua macam, hadis hasasn pun terbagi menjadi dua macam, yaitu hasan li-dzatih dan hasan li-ghairih;
a. Hasan Li-Dzatih
Hadis hasan li-dzatih adalah hadis yang telah memenuhi persyaratan hadis hasan yang telah ditentukan. pengertian hadis hasan li-dzatih sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.
b. Hasan Li-Ghairih
Hadis hasan yang tidak memenuhi persyaratan secara sempurna. dengan kata lain, hadis tersebut pada dasarnya adalah hadis dha’if, akan tetapi karena adanya sanad atau matan lain yang menguatkannya (syahid atau muttabi’), maka kedudukan hadis dha’if tersebut naik derajatnya menjadi hadis hasan li-ghairih.

II.3 Kehujahan Hadis Hasan
Hadis hasan sebagai mana halnya hadis shahih, meskipun derajatnya dibawah hadis shahih, adalah hadis yang dapat diterima dan dipergunakan sebagai dalil atau hujjah dalam menetapkan suatu hukum atau dalam beramal. Paraulama hadis, ulama ushul fiqih, dan fuqaha sepakat tentang kehujjahan hadis hasan.
III. HADIST DHAIF
III.1 Definisi Hadist Dhaif
Pengertian hadits dhaif Secara bahasa, hadits dhaif berarti hadits yang lemah. Para ulama memiliki dugaan kecil bahwa hadits tersebut berasal dari Rasulullah SAW. Dugaan kuat mereka hadits tersebut tidak berasal dari Rasulullah SAW. Adapun para ulama memberikan batasan bagi hadits dhaif sebagai berikut : “ Hadits dhaif ialah hadits yang tidak memuat / menghimpun sifat-sifat hadits shahih, dan tidak pula menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.
III.2 Macam-macam hadits dhaif
Hadist dhaif dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu : hadits dhaif karena gugurnya rawi dalam sanadnya, dan hadits dhaif karena adanya cacat pada rawi atau matan.
a. Hadits dhaif karena gugurnya rawi
Yang dimaksud dengan gugurnya rawi adalah tidak adanya satu atau beberapa rawi, yang seharusnya ada dalam suatu sanad, baik pada permulaan sanad, maupun pada pertengahan atau akhirnya. Ada beberapa nama bagi hadits dhaif yang disebabkan karena gugurnya rawi, antara lain yaitu :
1)      Hadits Mursal
Hadits mursal menurut bahasa, berarti hadits yang terlepas. Para ulama memberikan batasan bahwa hadits mursal adalah hadits yang gugur rawinya di akhir sanad. Yang dimaksud dengan rawi di akhir sanad ialah rawi pada tingkatan sahabat yang merupakan orang pertama yang meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW. (penentuan awal dan akhir sanad adalah dengan melihat dari rawi yang terdekat dengan imam yang membukukan hadits, seperti Bukhari, sampai kepada rawi yang terdekat dengan Rasulullah). Jadi, hadits mursal adalah hadits yang dalam sanadnya tidak menyebutkan sahabat Nabi, sebagai rawi yang seharusnya menerima langsung dari Rasulullah.
Contoh hadits mursal :
Artinya :
Rasulullah bersabda, “ Antara kita dan kaum munafik munafik (ada batas), yaitu menghadiri jama’ah isya dan subuh; mereka tidak sanggup menghadirinya”.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Malik, dari Abdurrahman, dari Harmalah, dan selanjutnya dari Sa’id bin Mustayyab. Siapa sahabat Nabi yang meriwayatkan hadits itu kepada Sa’id bin Mustayyab, tidaklah disebutkan dalam sanad hadits di atas.
Kebanyakan Ulama memandang hadits mursal ini sebagai hadits dhaif, karena itu tidak bisa diterima sebagai hujjah atau landasan dalam beramal. Namun, sebagian kecil ulama termasuk Abu Hanifah, Malik bin Anas, dan Ahmad bin Hanbal, dapat menerima hadits mursal menjadi hujjah asalkan para rawi bersifat adil.
2)      Hadits Munqathi’
Hadits munqathi’ menurut etimologi ialah hadits yang terputus. Para ulama memberi batasan bahwa hadits munqathi’ adalah hadits yang gugur satu atau dua orang rawi tanpa beriringan menjelang akhir sanadnya. Bila rawi di akhir sanad adalah sahabat Nabi, maka rawi menjelang akhir sanad adalah tabi’in. Jadi, pada hadits munqathi’ bukanlah rawi di tingkat sahabat yang gugur, tetapi minimal gugur seorang tabi’in. Bila dua rawi yang gugur, maka kedua rawi tersebut tidak beriringan, dan salah satu dari dua rawi yang gugur itu adalah tabi’in.
contoh hadits munqathi’ :
Artinya :
Rasulullah SAW. bila masuk ke dalam mesjid, membaca “dengan nama Allah, dan sejahtera atas Rasulullah; Ya Allah, ampunilah dosaku dan bukakanlah bagiku segala pintu rahmatMu”.
Hadits di atas diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dari Abu Bakar bin Ali Syaibah, dari Ismail bin Ibrahim, dari Laits, dari Abdullah bin Hasan, dari Fatimah binti Al-Husain, dan selanjutnya dari Fathimah Az-Zahra. Menurut Ibnu Majah, hadits di atas adalah hadits munqathi’, karena Fathimah Az-Zahra (putri Rasul) tidak berjumpa dengan Fathimah binti Al-Husain. Jadi ada rawi yang gugur (tidak disebutkan) pada tingkatan tabi’in.
3)      Hadits Mu’dhal
Menurut bahasa, hadits mu’dhal adalah hadits yang sulit dipahami. Batasan yang diberikan para ulama bahwa hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur dua orang rawinya, atau lebih, secara beriringan dalam sanadnya.
Contohnya adalah hadits Imam Malik mengenai hak hamba, dalam kitabnya “Al-Muwatha” yang berbunyi : Imam Malik berkata : Telah sampai kepadaku, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
Artinya :
Budak itu harus diberi makanan dan pakaian dengan baik.
Di dalam kitab Imam Malik tersebut, tidak memaparkan dua orang rawi yang beriringan antara dia dengan Abu Hurairah. Kedua rawi yang gugur itu dapat diketahui melalui riwayat Imam Malik di luar kitab Al-Muwatha. Imam Malik meriwayatkan hadits yang sama : Dari Muhammad bin Ajlan , dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah. Dua rawi yang gugur adalah Muhammad bin Ajlan dan ayahnya.
4)      Hadits mu’allaq
Menurut bahasa, hadits mu’allaq berarti hadits yang tergantung. Batasan para ulama tentang hadits ini ialah hadits yang gugur satu rawi atau lebih di awal sanad atau bisa juga bila semua rawinya digugurkan ( tidak disebutkan ).
Contoh :
Bukhari berkata : Kata Malik, dari Zuhri, dan Abu Salamah dari Abu Huraira, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
Artinya :
Janganlah kamu melebihkan sebagian nabi dengan sebagian yang lain.
Berdasarkan riwayat Bukhari, ia sebenarnya tidak pernah bertemu dengan Malik. Dengan demikian, Bukhari telah menggugurkan satu rawi di awal sanad tersebut. Pada umumnya, yang termasuk dalam kategori hadits mu’allaq tingkatannya adalah dhaif, kecuali 1341 buah hadits muallaq yang terdapat dalam kitab Shahih Bukhari. 1341 hadits tersebut tetap dipandang shahih, karena Bukhari bukanlah seorang mudallis ( yang menyembunyikan cacat hadits ). Dan sebagian besar dari hadits mu’allaqnya itu disebutkan seluruh rawinya secara lengkap pada tempat lain dalam kiab itu juga.
b. Hadits dhaif karena cacat pada matan atau rawi
Banyak macam cacat yang dapat menimpa rawi ataupun matan. Seperti pendusta, fasiq, tidak dikenal, dan berbuat bid’ah yang masing-masing dapat menghilangkan sifat adil pada rawi. Sering keliru, banyak waham, hafalan yang buruk, atau lalai dalam mengusahakan hafalannya, dan menyalahi rawi-rawi yang dipercaya. Ini dapat menghilangkan sifat dhabith pada perawi. Adapun cacat pada matan, misalkan terdapat sisipan di tengah-tengah lafadz hadits atau diputarbalikkan sehingga memberi pengertian yang berbeda dari maksud lafadz yang sebenarnya.
Contoh-contoh hadits dhaif karena cacat pada matan atau rawi :
1)      Hadits Maudhu’
Menurut bahasa, hadits ini memiliki pengertian hadits palsu atau dibuat-buat. Para ulama memberikan batasan bahwa hadis maudhu’ ialah hadits yang bukan berasal dari Rasulullah SAW. Akan tetapi disandarkan kepada dirinya. Golongan-golongan pembuat hadits palsu yakni musuh-musuh Islam dan tersebar pada abad-abad permulaan sejarah umat Islam, yakni kaum yahudi dan nashrani, orang-orang munafik, zindiq, atau sangat fanatic terhadap golongan politiknya, mazhabnya, atau kebangsaannya .
Hadits maudhu’ merupakan seburuk-buruk hadits dhaif. Peringatan Rasulullah SAW terhadap orang yang berdusta dengan hadits dhaif serta menjadikan Rasul SAW sebagai sandarannya.
“Barangsiapa yang sengaja berdusta terhadap diriku, maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya dalam neraka”.
Berikut dipaparkan beberapa contoh hadits maudhu’:
a)      Hadits yang dikarang oleh Abdur Rahman bin Zaid bin Aslam; ia katakana bahwa hadits itu diterima dari ayahnya, dari kakeknya, dan selanjutnya dari Rasulullah SAW. berbunyi : “Sesungguhnya bahtera Nuh bertawaf mengelilingi ka’bah, tujuh kali dan shalat di maqam Ibrahim dua rakaat” Makna hadits tersebut tidak masuk akal.
b)       adapun hadits lainnya : “anak zina itu tidak masuk surga tujuh turunan”. Hadits tersebut bertentangan dengan Al-Qur’an. ” Pemikul dosa itu tidaklah memikul dosa yang lain”. ( Al-An’am : 164 )
c)       “Siapa yang memperoleh anak dan dinamakannya Muhammad, maka ia dan anaknya itu masuk surga”. “orang yang dapat dipercaya itu hanya tiga, yaitu: aku ( Muhammad ), Jibril, dan Muawiyah”.
Demikianlah sedikit uraian mengenai hadits maudhu’. Masih banyak hadits-hadits lainnya yang sengaja dibuat oleh pihak kufar. Sedikit sejarah, berdasarkan pengakuan dari mereka yang memalsukan, seperti Maisarah bin Abdi Rabbin Al-Farisi, misalnya, ia mengaku telah membuat beberapa hadits tentang keutamaan Al-Qur’an dan 70 buah hadits tentang keutamaan Ali bin Abi Thalib. Abdul Karim, seorang zindiq, sebelum dihukum pancung ia telah memalsukan hadits dan mengatakan : “aku telah membuat 3000 hadits; aku halalkan barang yang haram dan aku haramkan barang yang halal”.
2)      Hadits matruk atau hadits mathruh
Hadits ini, menurut bahasa berarti hadits yang ditinggalkan / dibuang. Para ulama memberikan batasan bahwa hadits matruk adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang pernah dituduh berdusta ( baik berkenaan dengan hadits ataupun mengenai urusan lain ), atau pernah melakukan maksiat, lalai, atau banyak wahamnya.
Contoh hadits matruk : “Rasulullah Saw bersabda, sekiranya tidak ada wanita, tentu Allah dita’ati dengan sungguh-sungguh”.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ya’qub bin Sufyan bin ‘Ashim dengan sanad yang terdiri dari serentetan rawi-rawi, seperti : Muhammad bin ‘Imran, ‘Isa bin Ziyad, ‘Abdur Rahim bin Zaid dan ayahnya, Said bin mutstayyab, dan Umar bin Khaththab. Diantara nama-nama dalam sanad tersebut, ternyata Abdur Rahim dan ayahnya pernah tertuduh berdusta. Oleh karena itu, hadits tersebut ditinggalkan / dibuang.

3)      Hadits Munkar
Hadist munkar, secara bahasa berarti hadits yang diingkari atau tidak dikenal. Batasan yang diberikan para ‘ulama bahwa hadits munkar ialah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah dan menyalahi perawi yang kuat, contoh :
Artinya: “Barangsiapa yang mendirikan shalat, membayarkan zakat, mengerjakan haji, dan menghormati tamu, niscaya masuk surga. ( H.R Riwayat Abu Hatim )”
Hadits di atas memiliki rawi-rawi yang lemah dan matannya pun berlainan dengan matan-matan hadits yang lebih kuat.
4)      Hadits Mu’allal
Menurut bahasa, hadits mu’allal berarti hadits yang terkena illat . Para ulama memberi batasan bahwa hadits ini adalah hadits yang mengandung sebab-sebab tersembunyi , dan illat yang menjatuhkan itu bisa terdapat pada sanad, matan, ataupun keduanya. Contoh :
Rasulullah bersabda, “penjual dan pembeli boleh berkhiyar, selama mereka belum berpisah”.
Hadits di atas diriwayatkan oleh Ya’la bin Ubaid dengan bersanad pada Sufyan Ats-Tsauri, dari ‘Amru bin Dinar, dan selanjutnya dari Ibnu umar. Matan hadits ini sebenarnya shahih, namun setelah diteliti dengan seksama, sanadnya memiliki illat. Yang seharusnya dari Abdullah bin Dinar menjadi ‘Amru bin Dinar.
5)      Hadits mudraj
Hadist ini memiliki pengertian hadits yang dimasuki sisipan, yang sebenarnya bukan bagian dari hadits itu. Contoh :
Rasulullah bersabda : “Saya adalah za’im ( dan za’im itu adah penanggung jawab ) bagi orang yang beriman kepadaku, dan berhijrah; dengan tempat tinggal di taman surga”.
Kalimat akhir dari hadits tersebut adalah sisipan ( dengan tempat tinggal di taman surga ), karena tidak termasuk sabda Rasulullah SAW.
6)      Hadits Maqlub
Menurut bahasa, berarti hadits yang diputarbalikkan. Para ulama menerangkan bahwa terjadi pemutarbalikkan pada matannya atau pada nama rawi dalam sanadnya atau penukaran suatu sanad untuk matan yang lain.
Contoh :
Rasulullah SAW bersabda : Apabila aku menyuruh kamu mengerjakan sesuatu, maka kerjakanlah dia; apabila aku melarang kamu dari sesuatu, maka jauhilah ia sesuai kesanggupan kamu. (Riwayat Ath-Tabrani)
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, semestinya hadits tersebut berbunyi : Rasulullah SAW bersabda : “Apa yang aku larag kamu darinya, maka jauhilah ia, dan apa yang aku suruh kamu mengerjakannya, maka kerjakanlah ia sesuai dengan kesanggupan kamu”.
7) Hadits Syadz
Secara bahasa, hadits ini berarti hadits ayng ganjil. Batasan yang diberikan para ulama, hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang dipercaya, tapi hadits itu berlainan dengan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang juga dipercaya. Haditsnya mengandung keganjilan dibandingkan dengan hadits-hadits lain yang kuat. Keganjilan itu bisa pada sanad, pada matan, ataupun keduanya.
Contoh :
“Rasulullah bersabda : “Hari arafah dan hari-hari tasyriq adalah hari-hari makan dan minum.”
Hadits di atas diriwayatkan oleh Musa bin Ali bin Rabah dengan sanad yang terdiri dari serentetan rawi-rawi yang dipercaya, namun matan hadits tersebut ternyata ganjil, jika dibandingkan dengan hadits-hadits lain yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang juga dipercaya. Pada hadits-hadits lain tidak dijumpai ungkapan . Keganjilan hadits di atas terletak pada adanya ungkapan tersebut, dan merupakan salah satu contoh hadits syadz pada matannya. Lawan dari hadits ini adalah hadits mahfuzh.
III.3 Kehujahan Hadits dhaif
Khusus hadits dhaif, maka para ulama hadits kelas berat semacam Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa hadits dhaif boleh digunakan, dengan beberapa syarat:
  1. Level Kedhaifannya Tidak Parah
Ternyata yang namanya hadits dhaif itu sangat banyak jenisnya dan banyak jenjangnya. Dari yang paling parah sampai yang mendekati shahih atau hasan.
Maka menurut para ulama, masih ada di antara hadits dhaif yang bisa dijadikan hujjah, asalkan bukan dalam perkara aqidah dan syariah (hukum halal haram). Hadits yang level kedhaifannya tidak terlalu parah, boleh digunakan untuk perkara fadahilul a’mal (keutamaan amal).
  1. Berada di bawah Nash Lain yang Shahih
Maksudnya hadits yang dhaif itu kalau mau dijadikan sebagai dasar dalam fadhailul a’mal, harus didampingi dengan hadits lainnya. Bahkan hadits lainnya itu harus shahih. Maka tidak boleh hadits dha’if jadi pokok, tetapi dia harus berada di bawah nash yang sudah shahih.
  1. Ketika Mengamalkannya, Tidak Boleh Meyakini Ke-Tsabit-annya
Maksudnya, ketika kita mengamalkan hadits dhaif itu, kita tidak boleh meyakini 100% bahwa ini merupakan sabda Rasululah SAW atau perbuatan beliau. Tetapi yang kita lakukan adalah bahwa kita masih menduga atas kepastian datangnya informasi ini dari Rasulullah SAW.
  • Sikap Ulama Terhadap Hadits Dhaif :
Sebenarnya kalau kita mau jujur dan objektif, sikap ulama terhadap hadits dhaif itu sangat beragam. Setidaknya kami mencatat ada tiga kelompok besar dengan pandangan dan hujjah mereka masing-masing. Dan menariknya, mereka itu bukan orang sembarangan. Semuanya adalah orang-orang besar dalam bidang ilmu hadits serta para spesialis.
Maka posisi kita bukan untuk menyalahkan atau menghina salah satu kelompok itu. Sebab dibandingkan dengan mereka, kita ini bukan apa-apanya dalam konstalasi para ulama hadits.
1)      Kalangan Yang Menolak Mentah-mentah Hadits Dhaif
Namun harus kita akui bahwa di sebagian kalangan, ada juga pihak-pihak yang ngotot tetap tidak mau terima kalau hadits dhaif itu masih bisa ditolelir.
Bagi mereka hadits dhaif itu sama sekali tidak akan dipakai untuk apa pun juga. Baik masalah keutamaan (fadhilah), kisah-kisah, nasehat atau peringatan. Apalagi kalau sampai masalah hukum dan aqidah. Pendeknya, tidak ada tempat buat hadits dhaif di hati mereka.
Di antara mereka terdapat nama Al-Imam Al-Bukhari, Al-Imam Muslim, Abu Bakar Al-Arabi, Yahya bin Mu’in, Ibnu Hazm dan lainnya. Di zaman sekarang ini, ada tokoh seperti Al-Albani dan para pengikutnya.
2)      Kalangan Yang Menerima Semua Hadits Dhaif
Jangan salah, ternyata ada juga kalangan ulama yang tetap menerima semua hadits dhaif. Mereka adalah kalangan yang boleh dibilang mau menerima secara bulat setiap hadits dhaif, asal bukan hadits palsu (maudhu’). Bagi mereka, sedhai’f-dha’if-nya suatu hadits, tetap saja lebih tinggi derajatnya dari akal manusia dan logika.
Di antara para ulama yang sering disebut-sebut termasuk dalam kelompok ini antara lain Al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab Hanbali. Mazhab ini banyak dianut saat ini antara lain di Saudi Arabia. Selain itu juga ada nama Al-Imam Abu Daud, Ibnul Mahdi, Ibnul Mubarok dan yang lainnya.
Al-Imam As-Suyuthi mengatakan bawa mereka berkata, ‘Bila kami meriwayatkan hadits masalah halal dan haram, kami ketatkan. Tapi bila meriwayatkan masalah fadhilah dan sejenisnya, kami longgarkan.”
3)      Kalangan Menengah
Mereka adalah kalangan yang masih mau menerima sebagian dari hadits yang terbilang dhaif dengan syarat-syarat tertentu. Mereka adalah kebanyakan ulama, para imam mazhab yang empat serta para ulama salaf dan khalaf.
Syarat-syarat yang mereka ajukan untuk menerima hadits dhaif antara lain, sebagaimana diwakili oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dan juga Al-Imam An-Nawawi rahimahumalah, adalah:
• Hadits dhaif itu tidak terlalu parah kedhaifanya. Sedangkan hadits dha’if yang perawinya sampai ke tingkat pendusta, atau tertuduh sebagai pendusta, atau parah kerancuan hafalannya tetap tidak bisa diterima.
• Hadits itu punya asal yang menaungi di bawahnya
• Hadits itu hanya seputar masalah nasehat, kisah-kisah, atau anjuran amal tambahan. Bukan dalam masalah aqidah dan sifat Allah, juga bukan masalah hukum.
• Ketika mengamalkannya jangan disertai keyakinan atas tsubut-nya hadits itu, melainkan hanya sekedar berhati-hati.
Semua keterangan di atas, jelas bukan pendapat kami. Semua itu adalah pendapat para ulama pakar ilmu hadits. Kami ini bukan berada dalam posisi untuk mengkritisi salah satunya. Sebab beda maqam dan beda posisi.

BAB III
KESIMPULAN
Pada materi hadits dhaif ini, dapat kita petik kesimpulan bahwa kajian ke-islaman itu sangatlah luas. Menunjukkan betapa maha kuasanya Allah dalam memberikan kepahaman terhadap hamba-hambanya.
وَاللّهُ غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَـكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ
“Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.” (QS. Yûsuf [12]: 21)
Meskipun ada sebagian kaum muslimin mengingkari Qur’an dan Hadits ( terlebih hadits dhaif ), maka itulah yang perlu kita luruskan bersama. Karena sesungguhnya Allah SWT. berfirman :

“(Dan) kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka. Sesung- guhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.”(QS Yunus 36).

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran dan nesehat-menasehati supaya menetapi kebenaran”.(TQS Al-‘Ashr [103] : 1-3)
Terbaginya hadits dhaif dalam dua bagian; karena gugurnya rawi dan atau karena cacat pada rawi atau matan semakin memudahkan kita untuk mengetahui sebab-sebab mengapa hadits-hadits menjadi dhaif, baik dari segi rawinya ( orang yang meriwayatkan ), sanad, maupun matannya.
Setiap Muslim diperintahkan untuk memiliki kepribadian Islam (syakhshiyah islâmiyah). Kepribadian Islam itu mencakup cara berpikir islami (’aqliyyah islâmiyyah) dan pola sikap islami (nafsiyyah islâmiyah). Dengan ‘aqliyyah islâmiyyah seseorang dapat mengeluarkan keputusan hukum tentang benda, perbuatan, dan peristiwa sesuai dengan hukum-hukum syariah. Dia dapat mengetahui mana yang halal dan mana yang haram serta mana yang terpuji dan mana yang tercela berdasarkan syariah Islam. Melalui ‘aqliyyah islâmiyyah seorang Muslim juga akan memiliki kesadaran dan pemikiran yang matang, mampu menyatakan ungkapan yang kuat dan tepat, serta mampu menganalisis berbagai peristiwa dengan benar. Namun, ‘aqliyyah islâmiyyah saja tidak cukup. Banyak ilmu saja tidak cukup. Tidak jarang, orang pintar bicara, pandai berdebat tentang dalil, tetapi apa yang diomongkan berbeda dengan apa yang dilakukan.
Karena itu, kepribadian Islam tidak cukup dengan ‘aqliyyah islâmiyyah melainkan harus dipadukan dengan nafsiyyah .
Dengan mengetahui Ilmu Hadits ( di sini lebih dikhususkan hadits dhaif ), tentu akan membuat aqliyah kita menjadi semakin terpacu untuk berpikir dan menggali pengetahuan secara lebih mendalam serta dilandasi nafsiyah ( sikap ) keimanan dan ketakwaan yang mantap, termotivasi untuk terus mencari dan mengamalkannya karena pembahasan dalam makalah ini hanyalah berisi sebagian kecilnya saja.


Pengertian Hadits Hasan

By Saiful On October 5, 2010 · Leave a Comment
a. Secara bahasa (etimologi)
Kata Hasan (حسن) merupakan Shifah Musyabbahah dari kata al-Husn (اْلحُسْنُ) yang bermakna al-Jamâl (الجمال): kecantikan, keindahan.
b. Secara Istilah (teriminologi)
Sedangkan secara istilah, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama hadits mengingat pretensinya berada di tengah-tengah antara Shahîh dan Dla’îf. Juga, dikarenakan sebagian mereka ada yang hanya mendefinisikan salah satu dari dua bagiannya saja.
Berikut beberapa definisi para ulama hadits dan definisi terpilih:
1. Definisi al-Khaththâby : yaitu, “setiap hadits yang diketahui jalur keluarnya, dikenal para periwayatnya, ia merupakan rotasi kebanyakan hadits dan dipakai oleh kebanyakan para ulama dan mayoritas ulama
fiqih.” (Ma’âlim as-Sunan:I/11)
2. Definisi at-Turmudzy : yaitu, “setiap hadits yang diriwayatkan, pada sanadnya tidak ada periwayat yang tertuduh sebagai pendusta, hadits tersebut tidak Syâdzdz (janggal/bertentangan dengan riwayat yang kuat) dan diriwayatkan lebih dari satu jalur seperti itu. Ia-lah yang menurut kami dinamakan dengan Hadîts Hasan.” (Jâmi’ at-Turmudzy beserta Syarah-nya, [Tuhfah al-Ahwadzy], kitab al-‘Ilal di akhirnya: X/519)
3. Definisi Ibn Hajar: yaitu, “Khabar al-Ahâd yang diriwayatkan oleh seorang yang ‘adil, memiliki daya ingat (hafalan), sanadnya bersambung, tidak terdapat ‘illat dan tidak Syâdzdz, maka inilah yang dinamakan
Shahîh Li Dzâtih (Shahih secara independen). Jika, daya ingat (hafalan)-nya kurang , maka ia disebut Hasan Li Dzâtih (Hasan secara independen).” (an-Nukhbah dan Syarahnya: 29)
Syaikh Dr.Mahmûd ath-Thahhân mengomentari, “Menurut saya, Seakan Hadits Hasan menurut Ibn Hajar adalah hadits Shahîh yang kurang pada daya ingat/hafalan periwayatnya. Alias kurang (mantap) daya
ingat/hafalannya. Ini adalah definisi yang paling baik untuk Hasan. Sedangkan definisi al-Khaththâby banyak sekali kritikan terhadapnya, sementara yang didefinisikan at-Turmudzy hanyalah definisi salah satu dari dua bagian dari hadits Hasan, yaitu Hasan Li Ghairih (Hasan karena adanya riwayat lain yang mendukungnya). Sepatutnya beliau mendefinisikan Hasan Li Dzâtih sebab Hasan Li Ghairih pada dasarnya adalah hadits lemah (Dla’îf) yang meningkat kepada posisi Hasan karena tertolong oleh banyaknya jalur-jalur periwayatannya.”
Definisi Terpilih
Definisi ini berdasarkan apa yang disampaikan oleh Ibn Hajar dalam definisinya di atas, yaitu:
“Hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh periwayat yang ‘adil, yang kurang daya ingat (hafalannya), dari periwayat semisalnya hingga ke jalur terakhirnya (mata rantai terakhir), tidak terdapat
kejanggalan (Syudzûdz) ataupun ‘Illat di dalamnya.”
Hukumnya
Di dalam berargumentasi dengannya, hukumnya sama dengan hadits Shahîh sekalipun dari sisi kekuatannya, ia berada di bawah hadits Shahih. Oleh karena itulah, semua ahli fiqih menjadikannya sebagai hujjah dan
mengamalkannya. Demikian juga, mayoritas ulama hadits dan Ushul menjadikannya sebagai hujjah kecuali pendapat yang aneh dari ulama-ulama yang dikenal keras (al-Mutasyaddidûn). Sementara ulama yang
dikenal lebih longgar (al-Mutasâhilûn) malah mencantumkannya ke dalam jenis hadits Shahîh seperti al-Hâkim, Ibn Hibbân dan Ibn Khuzaimah namun disertai pendapat mereka bahwa ia di bawah kualitas Shahih
yang sebelumnya dijelaskan.” (Tadrîb ar-Râwy:I/160)
Contohnya
Hadits yang dikeluarkan oleh at-Turmudzy, dia berkata, “Qutaibah menceritakan kepada kami, dia berkata, Ja’far bin Sulaiman adl-Dluba’iy menceritakan kepada kami, dari Abu ‘Imrân al-Jawny, dari Abu Bakar
bin Abu Musa al-Asy’ariy, dia berkata, “Aku telah mendengar ayahku saat berada di dekat musuh berkata, ‘Rasulullah SAW., bersabda, “Sesungguhnya pintu-pintu surga itu berada di bawah naungan pedang-
pedang…” (Sunan at-Turmudzy, bab keutamaan jihad:V/300)
Hadits ini adalah Hasan karena empat orang periwayat dalam sanadnya tersebut adalah orang-orang yang dapat dipercaya (Tsiqât) kecuali Ja’far bin Sulaiman adl-Dlub’iy yang merupakan periwayat hadits Hasan –sebagaimana yang dinukil oleh Ibn Hajar di dalam kitab Tahdzîb at-Tahdzîb-. Oleh karena itu, derajat/kualitasnya turun dari Shahîh ke Hasan.
Tingkatan-Tingakatannya Sebagaimana hadits Shahih yang memiliki beberapa tingkatan yang karenanya satu hadits shahih bisa berbeda dengan yang lainnya, maka demikian pula halnya dengan hadits Hasan yang memiliki beberapa tingkatan.
Dalam hal ini, ad-Dzahaby menjadikannya dua tingkatan:
Pertama, (yang merupakan tingkatan tertinggi), yaitu: riwayat dari Bahz bin Hakîm dari ayahnya, dari kakeknya; riwayat ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya; Ibn Ishaq dari at-Tîmiy. Dan semisal itu dari hadits yang dikatakan sebagai hadits Shahih padahal di bawah tingkatan hadits Shahih.
Ke-dua, hadits lain yang diperselisihkan ke-Hasan-an dan ke-Dla’îf-annya, seperti hadits al-Hârits bin ‘Abdullah, ‘Ashim bin Dlumrah dan Hajjâj bin Artha’ah, dan semisal mereka.
Tingkatan Ucapan Ulama Hadits, “Hadits yang shahîh sanadnya” atau “Hasan sanadnya”
1. Ucapan para ulama hadits, “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya” adalah di bawah kualitas ucapan mereka, “Ini adalah hadits Shahih.”
2. Demikian juga ucapan mereka, “Ini adalah hadits yang Hasan sanadnya” adalah di bawah kualitas ucapan mereka, “Ini adalah hadits Hasan” karena bisa jadi ia Shahih atau Hasan sanadnya tanpa matan
(redaksi/teks)nya akibat adanya Syudzûdz atau ‘Illat.
Seorang ahli hadits bila berkata, “Ini adalah hadits Shahih,” maka berarti dia telah memberikan jaminan kepada kita bahwa ke-lima syarat keshahihan telah terpenuhi pada hadits ini. Sedangkan bila dia mengatakan, “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya,” maka artinya dia telah memberi jaminan kepada kita akan terpenuhinya tiga syarat keshahihan, yaitu: sanad bersambung, keadilan si periwayat dan kekuatan daya ingat/hafalan (Dlabth)-nya, sedangkan ketiadaan Syudzûdz atau ‘Illat pada hadits itu, dia tidak bisa menjaminnya karena belum mengecek kedua hal ini lebih lanjut.
Akan tetapi, bila seorang Hâfizh (penghafal banyak hadits) yang dipegang ucapannya hanya sebatas mengatakan, “Ini adalah hadits yang shahih sanadnya,” tanpa menyebutkan ‘illat (penyakit/alasan yang mencederai bobot suatu hadits); maka pendapat yang nampak (secara lahiriah) adalah matannya juga Shahîh sebab asal ucapannya adalah bahwa tidak ada ‘Illat di situ dan juga tidak ada Syudzûdz. Makna Ucapan at-Turmudzy Dan Ulama Selainnya, “Hadits Hasan Shahîh” Secara implisit, bahwa ungkapan seperti ini agak membingungkan sebab hadits Hasan kurang derajatnya dari hadits Shahîh, jadi bagaimana bisa digabung antara keduanya padahal derajatnya berbeda?. Untukmenjawab pertanyaan ini, para ulama memberikan jawaban yang beraneka ragam atas maksud dari ucapan at-Turmudzy tersebut. Jawaban yang paling bagus adalah yang dikemukakan oleh Ibn Hajar dan disetujui oleh as-Suyûthy, ringkasannya adalah:
1. Jika suatu hadits itu memiliki dua sanad (jalur transmisi/mata rantai periwayatan) atau lebih; maka maknanya adalah “Ia adalah Hasan bila ditinjau dari sisi satu sanad dan Shahîh bila ditinjau dari sisi sanad yang lain.”
2. Bila ia hanya memiliki satu sanad saja, maka maknanya adalah “Hasan menurut sekelompok ulama dan Shahîh menurut sekelompok ulama yang lain.”
Seakan Ibn Hajar ingin menyiratkan kepada adanya perbedaan persepsi di kalangan para ulama mengenai hukum terhadap hadits seperti ini atau belum adanya hukum yang dapat dikuatkan dari salah satu dari ke-duanya.
Pengklasifikasian Hadits-Hadits Yang Dilakukan Oleh Imam al-Baghawy Dalam Kitab “Mashâbîh as-Sunnah”
Di dalam kitabnya, “Mashâbîh as-Sunnah” imam al-Baghawy menyisipkan istilah khusus, yaitu mengisyaratkan kepada hadits-hadits shahih yang terdapat di dalam kitab ash-Shahîhain atau salah satunya dengan ungkapan, “Shahîh” dan kepada hadits-hadits yang terdapat di dalam ke-empat kitab Sunan (Sunan an-Nasâ`iy, Sunan Abi Dâ`ûd, Sunan at-Turmdzy dan Sunan Ibn Mâjah) dengan ungkapan, “Hasan”. Dan ini merupakan isitlah yang tidak selaras dengan istilah umum yang digunakan oleh ulama hadits sebab di dalam kitab-kitab Sunan itu juga terdapat hadits Shahîh, Hasan, Dla’îf dan Munkar.
Oleh karena itulah, Ibn ash-Shalâh dan an-Nawawy mengingatkan akan hal itu. Dari itu, semestinya seorang pembaca kitab ini ( “Mashâbîh as-Sunnah” ) mengetahui benar istilah khusus yang dipakai oleh Imam al-Baghawy di dalam kitabnya tersebut ketika mengomentari hadits-hadits dengan ucapan, “Shahih” atau “Hasan.”
Kitab-Kitab Yang Di Dalamnya Dapat Ditemukan Hadits Hasan Para ulama belum ada yang mengarang kitab-kitab secara terpisah (tersendiri) yang memuat hadits Hasan saja sebagaimana yang mereka lakukan terhadap hadits Shahîh di dalam kitab-kitab terpisah (tersendiri),
akan tetapi ada beberapa kitab yang di dalamnya banyak ditemukan hadits Hasan. Di antaranya yang paling masyhur adalah:
1. Kitab Jâmi’ at-Turmudzy atau yang lebih dikenal dengan Sunan at-Turmudzy. Buku inilah yang merupakan induk di dalam mengenal hadits Hasan sebab at-Turmudzy-lah orang pertama yang memasyhurkan istilah ini di dalam bukunya dan orang yang paling banyak menyinggungnya.
Namun yang perlu diberikan catatan, bahwa terdapat banyak naskah untuk bukunya tersebut yang memuat ungkapan beliau, “Hasan Shahîh”, sehingga karenanya, seorang penuntut ilmu harus memperhatikan hal ini dengan memilih naskah yang telah ditahqiq (dianalisis) dan telah dikonfirmasikan dengan naskah-naskah asli (manuscript) yang dapat dipercaya.
2. Kitab Sunan Abi Dâ`ûd. Pengarang buku ini, Abu Dâ`ûd menyebutkan hal ini di dalam risalah (surat)-nya kepada penduduk Mekkah bahwa dirinya menyinggung hadits Shahih dan yang sepertinya atau mirip dengannya di dalamnya. Bila terdapat kelemahan yang amat sangat, beliau menjelaskannya sedangkan yang tidak dikomentarinya, maka ia hadits yang layak. Maka berdasarkan hal itu, bila kita mendapatkan satu hadits di dalamnya yang tidak beliau jelaskan kelemahannya dan tidak ada seorang ulama terpecayapun yang menilainya Shahih, maka ia Hasan menurut Abu Dâ`ûd.
3. Kitab Sunan ad-Dâruquthny. Beliau telah banyak sekali menyatakannya secara tertulis di dalam kitabnya ini.

http://www.saifalink.co.cc/2010/10/05/pengertian-hadits-hasan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar